Catatan Kecil Seputar "Mitsaqan Ghalidhan"




Sangat tepat al-Qur'an membahasakan pernikahan dengan perjanjian yang agung (secara harfiyyah ghalidh bermakna tebal/kasar/keras/kejam).

Perjanjian tersebut tidaklah hanya sebatas "saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan mas kawin sekian dibayar tunai" semata, melainkan jika diperinci lebih lanjut akan berbunyi: "Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan konsekuensi akan mencukupi biaya hidupnya, menafkahi batinnya, dan saya bertanggung jawab penuh untuk mengajaknya beribadah, menjaga sholat-puasa-zakatnya, berhaji bersamanya (bila mampu), serta memberikan tauladan baik kepadanya, dan kelak jika dikaruniai anak, saya akan merawatnya, mencukupi kebutuhan hidupnya, memberikan pendidikan yang layak baginya, serta bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi dalam rumah tangga yang akan saya bangun bersama anak bapak,di dunia dan akhiratnya. Dengan maskawin sekian dibayar tunai". Dari sini bisa dilihat, betapa pernikahan merupakan perjanjian yang tidak bisa disepelekan.



Setiap imam keluarga (suami) akan menemui tingkat kesulitan yang berbeda-beda dalam mewujudkan janjinya. Upaya penyatuan dua manusia itu memang bukan perkara yang bisa dibilang mudah, seadem-ayem apa pun sebuah rumah tangga, perbedaan itu pasti ada dan niscaya. Karena berbeda, potensi untuk memperbesar perbedaan menjadi sebuah permasalahan itu juga sangat dimungkinkan.



Secara naluriahnya, setiap manusia dibekali ego, sehingga lebih mudah menjustifikasi saya yang benar dan kamu yang salah. Sehingga wajar, terkadang masalah dalam keluarga yang sebenarnya sepele jika dipikir sambil ngopi, bisa jadi besar ketika adu mulut dengan istri.


Ketika sudah berlanjut pada konflik berkepanjangan seperti perang timur tengah yang tak kunjung meredam, maka dibutuhkanlah salah satu pihak untuk mengangkat bendera putihnya dan menandatangani surat perjanjian damai. Pada tahapan ini, tidaklah penting mempermasalahkan siapa yang benar, tapi lebih karena keutuhan keluarga menjadi hal yang harus diprioritaskan.


Kembali ke mitsaqan ghalidhan tadi, bahwa perjanjian ini tidak hanya sekedar perjanjian sumpah jabatan yang bisa dan biasa dilanggar, tapi pertanggung jawabannya langsung kepada Tuhan Yang Maha Mengaudit segala hal. Maka proses "Lita'arafu" (saling mengenal satu sama lain) harus terus menerus berlangsung. Tidak hanya mengenal Nama, TTL, Hobi, dan cita-citanya saja, tetapi juga yang tak kalah penting ialah memahami satu sama lain karakternya, sifatnya, dan apa yang diinginkannya.


Bagi sebagian suami, memahami istrinya bukan perkara mudah. Dengan segala keunikan dan daya ngambeknya, wanita selalu memunculkan hal-hal yang tak terduga. Apa yang diinginkannya bisa jadi kebalikan 180° dari apa yang ditampakkan dan dikatakan. Mengatasi hal ini tentu tidaklah cukup berbekal ilmu ushul fiqh atau pun wawasan filsafat dari Plato hingga Karl Marx saja, melainkan dibutuhkan eksperimen-eksperimen pribadi untuk "mengenal" lebih dalam karakter sang istri. Ada Band membahasakannya dengan; "Karena Wanita Ingin Dimengerti".


Sesimpel itukah?

Indonesia sebagai sebuah negara, ada banyak sekali intervensi asing yang bisa mengacaukan dan atau memakmurkan sistem dalam negeri, baik dari Amerika, Rusia, Cina, maupun Malaysia. Begitu juga dengan keluarga, selain pihak suami dan istri, ada pihak-pihak lain yang turut andil membangun dan atau meruwetkan. Karena pernikahan berangkat dari dua keluarga, tak jarang muncul intervensi dari dua keluarga tersebut, bisa dalam makna positif dan terkadang juga negatif. Baik itu dari pihak mertua, ipar, tetangga, teman, hingga eks-tapol PKI.


Untuk menyikapi hal ini, menarik apa yang pernah disampaikan oleh Kyai Abdullah Dampit, Malang:

"Nikah itu seperti sampean naik mobil, sampean supire. Tujuane sampean mengantarkan penumpang yang ada di mobil tsb selamat sampai tujuan. Sampean di jalan akan bertemu banyak orang, jika ada orang yang berteriak-teriak kepada sampean nyuruh berhenti jangan mau. Fokuslah pada penumpang sampean, karena merekalah tanggung jawab sampean, yang harus sampean antarkan ke tujuan "selamat dunia akhirkat" (riwayat bil ma'na).


Selain masalah intervensi asing tadi, problematika bangsa yang selanjutnya adalah rupiah yang terus menerus melemah. Dengan melemahnya rupiah, sedikit banyak berdampak pada perekonomian keluarga. Untuk masalah ini, lebih baik konsultasikan kepada pakarnya.


Ini catatan bukan dibuat oleh orang yang telah berpengalaman berpuluh-puluh tahun mengarungi bahtera pernikahan, hanya saja kita semua pastilah bercita-cita menepati mitsaqan ghalidhan.



Semoga Bermanfaat.

1 komentar:

Posting Komentar

Tips Memilih Istri ala KH. Maimun Zubair




” Nek milih bojo iku sing ora patiyo ngerti dunyo. Mergo sepiro anakmu sholeh, sepiro sholehahe ibune.
(Kalau memilih istri itu yang tidak terlalu mengerti masalah “dunia”. karena kesolehan anak mu bergantung pada kesolehan ibunya)
Sohabat Abbas iku nduwe bojo ora seneng dandan, nganti sohabat Abbas isin nek metu karo bojone. Tapi beliau nduwe anak ngalime poll, rupane Abdulloh bin Abbas.
(Sahabat Abbas itu punya istri  yang tidak suka danda, hingga Sahabat Abbas malu kalau keluar bersama istrinya, tetapi beliau punya anak yang sangat ‘alim yaitu Abdullah bin Abbas)
Sayyidina Husain nduwe bojo anake rojo rustam (rojo persia). Walaupun asale putri rojo, sakwise dadi bojone sayyidina Husain wis ora patiyo seneng dunyo. Mulane nduwe putro Ali Zainal Abidin bin Husain, ngalim-ngalime keturunane Kanjeng Nabi. Kiai-Kiai Sarang ngalim-ngalim koyo ngono, mergo mbah-mbah wedo’e do seneng POSO.
(Sayyidina Husain punya istri dari keturunan raja Persia, walaupun asalnya seorang puteri raja, setelah menjadi istri Sayyidina Husain sudah tidak begitu senang terhadap “dunia” sehingga ia mempunya putra yang bernama Ali Zainal Abidin Bin Husain, seorang yang paling alim dari keturunan Kanjeng Nabi. Kayai – kyai Sarang ‘alim ‘alim  dikarenakan suka PUASA)
Syekh Yasin Al Fadani (ulama’ asal padang yang tinggal di mekah) iku nduwe istri pinter dagang, nduwe putro loro.Sing siji dadi ahli bangunan sijine kerjo neng transportasi. Kabeh anake ora ono sing nerusake dakwahe Syekh Yasin. Neng Al Qur-an ﻧﺴﺎﺅﻛﻢ ﺣﺮﺙ ﻟﻜﻢ Istri iku ladang kanggo suami. Sepiro apike bibit tapi nek tanahe atau ladange ora apik, ora bakal ngasilno pari apik.
(Syekh Yasin Al Fadani – Ulama’ asal padang yang tinggal di mekah- itu mempunyai istri yang pintar berdagang, punya dua putra, yang satu menjadi ahli bangunan dan yang satunya bekerja di bagian transportasi. semua anaknya tidak ada yeng maneruskan dakwahnya Syekh yasin. Di Al Quran ﻧﺴﺎﺅﻛﻢ ﺣﺮﺙ ﻟﻜﻢ  istri itu ladang untuk suami, sebagus apapun bibitnya tetapi kalau tanahnya atau ladangnya kurang bagus, tidak bakal memberikan padi yang bagus )
Intine iso nduwe anak ngalim, nek istrine ORA PATIYO NGURUSI DUNYO LAN KHIDMAH POLL KARO SUAMINE. Nek kowe milih istri pinter dunyo, kowe sing kudu wani tirakat. Nek ora wani tirakat, yo lurune istri sing ahli dzikir, kowene sing mikir dunyo alias kerjo.”
(Intinya bisa punya anak yang ‘alim kalau istrinya TIDAK DISIBUKKAN MENGURUSI DUNIA DAN SEPENUHNYA BERKHIDMAH KEPADA SUAMINYA. kalau kamu memilih istri pinter kerja dunia, kamu harus berani “tirakat”. kalau tidak berani tirakat, carilah istri yang ahli dzikir, kamu yang mikir dunia alias bekerja )

0 komentar:

Posting Komentar

Islam dan Arab




Islam dan Arab merupakan dua entitas yang saling tarik-menarik, baik dalam ranah teks, maupun dalam beberapa konteks. Hal ini sangatlah wajar, dikarenakan Islam turun di wilayah Arab dan Islam juga "meminjam" Bahasa Arab sebagai media penyampaian pesan Tuhan (al-Qur'an). Tak hanya itu, Rasulullah sebagai penyampai risalah pun adalah orang Arab yang sudah barang tentu ada unsur-unsur budaya Arab yang melekat pada diri beliau, baik itu dari bahasa, pakaian, cara berinteraksi, hingga menu "daharan" (makanan) beliau. Ditambah lagi Ka'bah sebagai kiblat seluruh umat Islam terletak di Mekkah (Arab Saudi), sehingga semakin menguatkan interaksi antara dunia Islam dan Arab.

Dengan kondisi semacam ini, sebagian kalangan memunculkan stigma bahwa "Islam Harus Arab", dan "Semua yang Arab pastilah Islam". Stigma ini jika dikembangkan akan memunculkan anggapan bahwa seorang "preman" yang berjubah dan bersorban akan dinilai lebih agamis dibanding seorang "alim" yang memakai celana jeans. Lebih spesifik lagi, belakangan muncul sebuah maqalah: "Kalau kita enggak mau ikuti Arab Saudi, ya kalau shalat enggak usah hadap kiblat". Dari anggapan ini, terjadi peleburan antara Arab Saudi sebagai sebuah negara beserta seluruh budaya dan kebijakannya, dengan Islam sebagai Agama.

Berangkat dari kerancuan-kerancuan berpikir semacam ini, maka perlu kiranya diketengahkan pemisahan, pemilahan dan pemilihan antara mana budaya Arab yang disaringkan dari hasil interaksinya dengan Islam selama berabad-abad, dan mana yang tergolong murni bermuatan nilai Islam.

Dalam rangka upaya tersebut perlu adanya wawasan mendalam tentang kondisi Arab pra-Islam, serta bagaimana ajaran-ajaran Islam melakukan upaya dekonstruksi terhadap budaya Arab yang dianggap jahiliyyah, dan merekonstruksi tatanan masyarakat yang sesuai dengan tuntunan al-Qur'an.
===
Upaya pembenahan tersebut tentu tidaklah membumi-hanguskan semua kultur Arab, ada beberapa tradisi Arab pra-Islam yang masih berlaku, dan jika wilayahnya adalah tradisi, maka kita tidaklah perlu menjiplak seutuhnya.
===
Sebagai contoh kecil, bahasa misalnya. Memanglah benar Bahasa Arab adalah Bahasa Al-Qur'an, pun khazanah keilmuan Islam yang otentik semuanya tertulis menggunakan Bahasa Arab, sehingga wajib hukumnya bagi setiap orang yang ingin mendalami ajaran Islam untuk mengetahui dan menguasai Bahasa Arab. Karena jika tidak, dia tidak akan merasakan "Dzauq Al-Lughah" (citarasa bahasa), yang akibatnya akan missing pemahamannya ketika mengkaji teks-teks Arab. Namun hal ini tidaklah berarti, kita sebagai orang Indonesia yang kebetulan Muslim, sunnah hukumnya memakai Bahasa Arab sebagai bahasa percakapan sehari-hari dengan tetangga dan sanak famili kita. 
===
Karena Bahasa Arab yang dipraktikkan Rasul bukanlah sunnah yang harus diterapkan oleh umatnya dalam ruang geografis yang berbeda. Maka kalimat, "Aina Tadzhab?" tidak lebih baik dari "kuwe arep nengdi?". Kita memiliki dimensi ruang dan waktu yang berbeda dengan Rasul, kita punya bahasa sendiri, Bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah. Akan jauh lebih mulia jika orang Indonesia memakai Bahasa Indonesia sebagai bahasa kesehariannya, terlebih jika mau melestarikan bahasa daerahnya masing-masing yang sudah mulai luntur akibat ke-alay-an penggunanya.
===
Jika saja memang pengucapan ana, nahnu, anta, antum, lebih "nyunnah" (mendapatkan pahala bagi yang mengerjakan) daripada aku, awakdewe, kuwe, sampean, niscaya orang Arab potensi masuk surganya jauh lebih besar dibanding masyarakat yang sulit melafalkan huruf "ain" ini.
===
Dalam kasus lain, contoh hadis tentang pemanjangan jenggot dan pemendekan kumis. Hadis tersebut memiliki latar-belakang kemunculan kenapa hadis tersebut ada (sabab al-wurud). Artinya, hadis tersebut tidak muncul tiba-tiba tanpa adanya sebab-sebab tertentu. Hadis tersebut muncul ketika Rasulullah mengetahui kondisi umat Majusi yang memanjangkan kumisnya, dan memangkas jenggotnya. Kemudian Rasulullah menyuruh para sahabatnya untuk melakukan kebalikannya, memangkas kumis dan memanjangkan jenggot. Ada juga riwayat yang menyebutkan latar belakangnya adalah karena datang seorang dari negeri ajam (selain Arab) kepada Rasul dalam keadaan tak berjenggot dan berkumis tebal, maka Rasul memerintahkan kebalikannya.
===
Dari latar belakang ini kemudian bisa kita telaah, bahwa dalam hadis tersebut ada tujuan "politik identitas", atau mengedepankan simbol fisik sebagai pembeda antara muslim dan non-muslim. Pada saat itu hal semacam ini sangatlah diperlukan, mengingat kondisi ketegangan antara muslim dan non-muslim seringkali terjadi, sehingga perlu untuk mengetahui mana kawan dan mana lawan. Dan yang perlu digaris-bawahi, jenggot Rasulullah itu jenggot yang mengesankan keagungan dan sangat menawan, sehingga menambah aura kewibawaan pada diri Rasul.
===
Menjadi menarik kemudian, jika hadis ini dianggap tuntunan syar'i bagi seluruh kaum muslimin di seluruh belahan dunia. Sehingga adanya dogma yang tersebar, memelihara jenggot sunnah hukumnya, mendapat pahala bagi yang memelihara, dan mendapat predikat "inkar al-sunnah" bagi yang memotongnya. Kita menyadari, kondisi genetis tiap manusia berbeda-beda, pun demikian dengan kondisi jenggot dan kumisnya.
===
Masyarakat Indonesia pada umumnya, tidak memiliki jenggot sebagaimana bangsa Arab atau India. Ada yang jenggotnya tumbuh beberapa helai, bahkan ada yang tidak tumbuh sama sekali. Dalam kondisi seperti ini, kembali pertanyaan dihadapkan, apakah bagi muslim yang tidak memiliki jenggot secara alami dianggap tidak Islam secara kaffah? Ataukah bagi yang jenggotnya tumbuh beberapa helai harus tetap dipanjangkan meskipun sedikit bertentangan dengan estetika? Ataukah sebagai muslim yang taat dipaksa untuk memakai obat penumbuh jenggot demi mewujudkan "sunnah Rasul"?
===
Maka hadis ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kemunculannya, yakni pembeda dengan kaum musyrikin. Sehingga nilai yang bisa dipetik adalah semangat membedakan diri dengan kaum musyrikin. Jika di Indonesia, kaum musyrikin banyak memberikan beasiswa, maka umat Islam Indonesia dituntut untuk memberikan beasiswa+biaya nikah, agar berbeda dengan kebaikan yang diberikan non-muslim.
===
Adapun masalah estetika, kita sendiri yang bisa menimbangnya. Jika 9 helai jenggot dirasa kurang pas untuk dipanjangkan, maka alangkah baiknya sekalian dibersihkan. Bukankah Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan?

=========
Dua contoh kasus tadi, semoga bisa menjadi perangsang agar kita tidak gebyah-uyah terhadap dogma yang kita anggap paling Islam. Perlu adanya pemilahan mana wilayah ajaran, dan mana wilayah tradisi.
===
Islam dan Arab memang sangat identik, tapi keduanya bukanlah satu kesatuan yang sama. Tetap ada beberapa point pemisah antara keduanya.
===
Sehingga ungkapan harus mencari kiblat selain Ka'bah (Mekkah) jika tidak tunduk pada Arab Saudi, itu adalah sama halnya dengan: "Kalau suka roti, berarti kamu pro-Barat".
=========
Semoga Bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Bahasa Agama




Dalam buku Bahasa Agama karya Komaruddin Hidayat, telah dibahas tentang definisi, dampak, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan bahasa dan agama serta hubungan keduanya. Namun disini, penyusun mencoba meringkasnya agar lebih mudah dipahami dan pembahasan mengenai bahasa agama lebih difokuskan dalam pembahasan bahasa agama dalam Islam, dalam hal ini adalah wahyu Allah (Al-Qur’an).

Bahasa adalah suatu media untuk menyatakan kehadiran sebuah realita dan persona. Sedangkan definisi bahasa agama, terdapat dua pengertian. Pertama, bahasa agama ialah kalam Ilahi yang kemudian terabadikan dalam kitab suci (Al-Qur’an). Pengertian ini dilihat dari sudut pandang theo-oriented. Kedua, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial—atau dalam istilah Agama Islam mengarah kepada Hadits (fi’li, qauli, taqriri), Atsar as-Shahabah, Tabi’in, tabi’ al-Tabi’in ataupun para Ulama setelahnya—meskipun tidak selalu merujuk kepada kitab suci. Pengertian yang kedua ini, didasarkan terhadap sudut pandang antropo-oriented. Dan dalam pembahasan kali ini lebih dikhususkan kepada definisi yang pertama, yakni bahasa agama adalah kitab suci.

Setiap kitab suci, begitu telah terbukukan maka secara fisik-tekstual ia telah hadir dan duduk sejajar dengan buku-buku lainnya.ia telah menjadi fakta historis. Yang kemudian membedakan adalah sikap pembaca dan respons pembacanya, begitupun dalam memahami gaya bahasa agama maka sikap pembaca sangat berperan. Secara sederhana, terdapat dua kategori bahasa agama (kitab suci), yaitu preskriptif dan deskriptif. Yang pertama preskriptif, struktur makna yang dikandung selalu bersifat imperatif dan persuasif, yaitu menghendaki pembaca mengikuti pesan pengarang sebagaimana terformulasikan dalam teks. Dalam ungkapan-ungkapan preskriptif posisi pangarang menjadi pusat putaran, sementara pembaca diminta mengikuti ajakan dan sarannya. Berbeda dengan deskriptif, jika gaya preskriptif pengarang cenderung memerintah, maka gaya bahasa deskriptif lebih demokratis sifatnya. Disitu terbuka lebar bagi pembaca untuk ikut mendiskusikan persoalan.

Lalu berkenaan dengan isi yang terkandung dalam Al-Qur’an, maka sebagian besar gaya bahasa Al-Qur’an bersifat preskriptif. Kemudian timbul pertanyaan, apakah benar Allah itu adalah Dzat yang diktator ?. Tidak benar jika Allah kita klaim sebagai Dzat yang diktator, yang memaksakan kehendaknya dalam Al-Qur’an untuk diikuti. Karena pada hakikatnya kita tidak akan mengetahui baik-buruk tanpa petunjuk dari Allah swt. Maka Allah kita misalkan sebagai guru yang bijak, beliau akan memilih ungkapan yang tepat ketika berbicara, sesuai ruang, waktu, dan objek yang dituju. Oleh karenanya, dalam Al-Qur’an pesan dan perintah Allah kadangkala dituangkan dalam bentuk narasi deskriptif serta ungkapan-ungkapan metaforis. Di kalangan Ulama Mutakalllimun (teolog Islam) bahkan terdapat pandangan yang cukup kuat bahwa salah satu kekuatan Al-Qur’an justru terletak pada gaya bahasanya, sehingga para sastrawan handal pada saat itu harus mengakui kekalahan mereka ketika dihadapkan pada tantangan gaya bahasa Al-Qur’an. Gaya serta keindahan bahasa Al-Qur’an tidak bisa dikategorikan sebagai karangan prosa atau puisi, karena bahasa Al-Qur’an sesungguhnya lebih menekankan makna yang sanggup menggugah kesadaran batin dan akal budi ketimbang sekedar ungkapan kata yang berbunga-bunga. Disini perlu diberi penekanan, gaya bahasa hanyalah salah satu aspek saja, sedangkan aspek yang paling fundamental dari Al-Qur’an adalah pada kejelasan dan ketegasan maknanya, terutama menyangkut Doktrin Tauhid dan Hukum.

Dari penjelasan singkat diatas, satu hal yang bisa dikemukakan adalah bahwa dalam memikirkan, membahsasakan dan mengekspresikan pikiran tentang Tuhan dan objek yang abstrak, manusia mesti menggunakan ungkapan yang familiar dengan dunia Indrawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-simbol sekuler, hanya kemudian diberi muatan yang melewati realitas Indrawi. Dengan kata lain, bahasa agama secara historis-antropologis adalah bahasa manusia, tetapi secara teologis di dalamnya memuat kalam Ilahi yang bersifat transhistoris atau metahistoris. Dampaknya, bahasa metafor dalam kitab suci secara potensial bisa menimbulkan dua implikasi, positif dan negatif. Segi positifnya terletak pada kemampuan bahasa metaforis untuk mengakomodasi penafsiran dan pemahaman baru, sehingga kitab suci maupun karya sastra akaan selalu hadir setiap saat tanpa kehilangan daya pikat dan panggilan hermeneutikanya. Bahasa metafor selalu membuka pintu bagi imajinasi dan kemungkinan-kemungkinan baru (posibilitas), bukannya sebuah representasi dari realitas yang telah mapan (faktualitas).

0 komentar:

Posting Komentar

Kajian Lafadz "DOA" dalam Al-Qur'an



A.  Pendahuluan
Allah menciptakan manusia dalam keadaan yang lemah, sehingga manusia tidak dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya secara mandiri. Adakalanya manusia harus berinteraksi dengan sesama guna melengkapi kebutuhan-kebutuhan tersebut, karena manusia juga makhluk sosial. Namun seiring meningkatnya kebutuhan, manusia tidak hanya membutuhkan bantuan dari sesama manusia, karena ada beberapa kebutuhan yang tidak mungkin dipenuhi oleh sesama manusia. Hal ini menyebabkan manusia kembali pada Dzat yang telah menciptakannya, yaitu dengan jalan berdoa. Bahkan untuk hal-hal yang mungkin didapatkannya dengan jalan meminta bantuan kepada sesama makhluk pun manusia tetap memintakannya kepada Dzat Maha Pemberi.
Dalam ajaran Islam doa menempati posisi penting, dan tidak hanya digunakan untuk meminta kebutuhan hidup semata, melainkan sebagai sarana berinteraksi dengan Allah dan juga sarana beribadah. Akan tetapi doa dalam perspektif sebagian aliran tasawuf dianggap kurang baik, karena dinilai kurang mensyukuri akan nikmat yang Allah berikan terhadapnya.[1] Terlepas dari itu semua manusia tetaplah membutuhkan adanya interaksi dengan Tuhannya, karena menurut Molinowski dalam analisisnya mengenai manusia, bahwa manusia membutuhkan interaksi dengan Tuhannya guna memenuhi kebutuhan spiritualitasnya (ruhaniah).[2] Baik itu dari agama Islam, Yahudi, Nashrani, bahkan Atheis pun sebenarnya mengakui adanya kekuatan lain di luar diri meraka, namun mereka enggan menyebutnya sebagai Tuhan.
Disini akan diuraikan pembahasan tentang doa yang terdapat dalam al-Qur’an, baik secara definisi maupun pembagian-pembagiannya. Dan penulis hanya bisa berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
B.  Definisi
Al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran Agama Islam, sehingga seluruh pembahasan ayatnya merupakan sesuatu yang urgen dalam Islam.  Begitu juga halnya pembahasan mengenai Doa, banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang Doa, dan juga mempunyai banyak arti yang berbeda. Dalam ayat yang sama pun Ulama banyak yang berbeda dalam menafsirkan kata Doa itu sendiri. Disini penulis akan mencoba menguraikan makna doa dari segi bahasa dan juga pendapat beberapa Ulama mengenai definisi dari Doa.
Apabila dilihat dari asal suku katanya, Doa bentuk mashdar dari kata Da’a – Yad’u )  (دعا- يدعوyang bermakna memanggil atau mengundang.[3] Kata ini juga memiliki beberapa variasi mashdar, diantaranya: da’wan, da’wah, dan da’wa.[4] Sedangkan menurut Imam Muhammad Ibn Mukarram Ibn Mandzhur dalam kamusnya Lisan al-‘Arab beliau menjelaskan bahwasannya makna lafadz الدّعاء  dapat berarti suara, seperti bunyi حِئ حِئْ  mempunyai makna suara keledai[5] dan juga bunyi   الجِيءُ والجَيءbermakna suara unta.[6]
Arti etimologi lainnya, doa dapat bermakna memohon, minta diambilkan (sesuatu), membutuhkan, menuturkan kebaikan mayat, minta tolong, menyukai, mencari kebaikan (untuk prang lain), menisbatkan (kepada orang lain), mengajak dan mendorong (untuk melakukan sesuatu), dan menggiring.[7]
Dalam kamus Al-Muhith Doa bermakna :
و الدُّعاءُ الرَّغْبَةُ إلى الله تعالى.[8]
Doa adalah rasa Cinta kepada Allah swt.
Definsi umum doa yang masyhur di kalangan ahli Ushul dan Fiqh adalah :
الدّعاء هو طلبُ الفعل من الأدنى إلى الأعلى ، فالدّعاء نوع من السّؤال.[9]
Doa ialah tuntutan perbuatan (baca : perintah) dari derajat yang rendah kepada derajat yang lebih tinggi, maka doa adalah salah satu bentuk dari permintaan.
Secara Terminologi lafadz doa ini sebenarnya sama halnya dengan Amr (perintah), hanya saja dalam doa pemakaian bahasanya lebih sopan, karena ditujukan kepada derajat yang lebih tinggi[10], atau biasa disebut dengan permohonan. Sedangkan Rasulullah saw mendefinisikan Doa sebagai bentuk dari Ibadah. Seperti dalam Haditsnya yang dikutip dari Riyadl al-Shalihin.
وعن النعمان بن بشيرٍ، رضي الله عنهما، عن النّبي، صلى الله عليه وسلم، قال: الدّعاءُ هو العبادة.
)رواه أبو داود، والترمذي، وقال: حديثٌ حسنٌ صحيح   [11](
Dari Nu’man ibn Basyir RA, dari Nabi saw bersabda : Doa adalah Ibadah. (HR. Abu Daud, dan Tirmidzi, dan dia berkata : Hadits Hasan Shahih).
C.    Doa Dalam Al-Qur’an
Dalam pembahasan point ini akan diuraikan mengenai lafadz-lafadz doa yang terdapat dalam al-Qur’an dan implikasi maknanya, kemudian akan dipaparkan juga tafsir-tafsir Ulama klasik dalam surat al-Baqarah ayat 186 beserta asbab al-Nuzul-nya.
1.    Lafadz-lafadz doa di dalam al-Qur’an
Kata Da’a-Yad’u dalam al-Qur’an beserta derivasinya (isytiqaq) disebutkan sebanyak 213 kali dalam 55 surat, yaitu al-Baqarah [2]: 23, 61, 68, 69, 70, 171, 186, 221, 226, 260, 282, Ali Imram [3]: 23, 38, 48, 61, 104, 153, al-Nisa’ [4]: 117, al-An’am [6]: 40, 41, 52, 56, 63, 71, 107, al-A’raf [7]: 5, 29, 37, 55, 56, 134, 180, 189, 193, 194, 195, 197, 198, al-Anfal [8]: 24, Yunus [10]: 10, 12, 22, 25, 38, 66, 89, 106, Hud [11]: 13, 62, 101, Yusuf [12]: 8, 33, al-Ra’d [13]: 14, 36, Ibrahim [14]: 9, 10, 22, 39, 40, 44, al-Nahl [16]: 20, 25, 86, al-Isra’ [17]: 11, 52, 56, 57, 67, 71, 110, al-Kahfi [18]: 14, 28, 53, 57, Maryam [19]: 4, 47, 48, 91, Thaha [20]: 108, al-Anbiya’ [21]: 15, 45, 90, al-Hajj [22]: 12, 13, 62, 67, 73, al-Mu’minun [23]: 73, 117, al-Nur [24]: 48, 51, 63, al-Furqan [25]: 13, 14, 68, 77, al-Syu’ara’ [26]: 72, 213, al-Naml [27]: 62, 80, al-Qashash [28]: 25, 41, 64, 87, 88, al-‘Ankabut [29]: 42, 65, al-Rum [30]: 25, 33, 52, Luqman [31]: 21, 30, 32, al-Sajdah [32]: 16, al-Ahzab [33]: 4, 5, 37, 46, 53, Saba’ [34]: 221, Fathir [35]: 6, 13, 14, 18, 40, Yasin [36]: 57, al-Shaffat [37]: 125, Shad [38]: 51, al-Zumar [39]: 8, 38, 43, 49, Ghafir [40]: 10, 12, 14, 20, 26, 41, 42, 43, 49, 51, al-Syura [42]: 13, 15, al-Zukhruf [43]: 49, 86, al-Dukkhan [44]: 22, 55, al-Jatsiyah [45]: 28, al-Ahqaf [46]: 4, 5, 31, 32, Muhammad [47]: 35, 38, al-Fath [ 49]: 16, al-Thur [52]: 28, al-Qamar [54]: 6, 8, 10, al-Hadid [57]: 8, al-Shaf [61]: 7, al-Mulk [67]: 27, al-Qalam [68]: 42, 43, al-Ma’arij [70]: 17, Nuh [71]: 5, 6, 7, 8, al-Jin [72]: 18, 19, 20, al-Insyiqaq [84]: 11, dan al-‘Alaq [96]: 17, 18.[12] Adapun mengenai bentuk lafadz da’a yang dipakai dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut :
Ø  Menggunakan Fi’il Madli dari Lafadz دعا (baik bentuk mufrad maupun jamak):
QS. Yunus[10] : 12
وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا
 “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri......................
QS. Yunus [10] : 22
دَعَوُا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ……
 ..........Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, Pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur".
Ø  Menggunakan Fi’il Mudlari’ (baik mufrad atau jamak, ghaib, mukhatab ataupun mutakallim)
QS. Al-Anbiyaa’ [21] : 90
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ……. ÇÒÉÈ
..............Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas..............
QS. Al-An’am [6] : 41
بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ.....
            (Tidak), tetapi Hanya kepadanyalah kamu bedoa, Maka dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadanya...................
QS. Al-Israa’ [17] : 11
وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًاÇÊÊÈ  
Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.
Ø  Menggunakan mashdar (baik mashdar berupa Da’wah maupun ad-Du’a’)
QS. Ar-Ra’d [13] : 14
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقّÈ ( ……………..
Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar………….
QS. Ibrahim [14] : 39
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِÇÌÒÈ    
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa.
Ø  Menggunakan Fi’il Amar (Perintah berdoa oleh Allah swt kepada Hambanya)
QS. Al-A’raf [7] : 55
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَÇÎÎÈ  
            Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ø  Menggnunakan Lafadz lain, yang bukan bentukan dari Da’a –Yad’u (دعا-يدعو)
Doa yang bermakna permohonan dalam al-Qur’an tidak hanya disebutkan menggunakan lafadz (دعا-يدعو) , terkadang menggunakan lafadz الصلاة , dan terkadang juga menggunakan lafadz (ناى – ينادى) seperti pada QS. At-Taubah (9) : 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ÇÊÉÌÈ  
            Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan[13] mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
 dan QS. Al-Anbiyaa’[21] : 89
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَÇÑÒÈ  
            Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia berdoa kepada Tuhannya: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan Aku hidup seorang diri[14] dan Engkaulah waris yang paling Baik.
Analisis mengenai makna doa yang terkandung dalam al-Qur’an yang dilakukan oleh penulis, bahwasannya makna doa dapat terkandung pada ayat-ayat yang terdapat lafadz  قال maupun derivasi kata darinya يقول , dan setelahnya diikuti oleh sebuah kalimat permohonan yang ditujukan kepada Allah (atau diikuti oleh lafadz-lafadz ربّ – اللهم ). Meskipun tidak secara eksplisit terdapat lafadz دعا – يد عو  , makna Qaala disitu tidak lagi bermakna berucap, melainkan bemakna berdoa, seperti dalam ayat-ayat berikut ini :
QS. Al-Qashash [28] : 16
قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُÇÊÏÈ  
Musa berdoa: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku Telah menganiaya diriku sendiri Karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan QS. Al-Baqarah [2] : 201
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ  ÇËÉÊÈ  
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
Pendapat ini dapat saja dilemahkan oleh lafadz doa yang terdapat pada QS. Ghafir [40] ayat 60:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ  ÇÏÉÈ  
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[15] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
                 Dalam ayat tersebut, setelah lafadz Qaala diikuti kalimat permohonan yang memakai bentuk perintah, namun penulis berpandapat bahwa lafadz Qaala dalam QS. Al-Mu’min: 60 ini tidak mengandung makna berdoa, karena lafadz setelahnya meupakan bentuk permohonan dari derajat yang lebih tinggi kepada derajat yang lebih rendah (perintah / Amr ), maka makna Qaala dalam ayat ini kembali ke asal maknanya, yakni berkata (Berfirman).

2.   Variasi makna Doa dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an, makna term “Doa” ini terkadang juga memiliki arti yang berbeda sesuai konteks kalimatnya. Berikut akan diuraikan makna-makna lafadz Doa yang terdapat dalam al-Qur’an.
a)      Ibadah
                 Pengertian doa sebagai Ibadah ini merupakan pengertian pokok dari lafadz doa itu sendiri. Karena sejatinya manusia sebagai makhluk ciptaan Allah memiliki rasa kehambaan terhadap-Nya tatkala ia berdoa, dengan kata lain hamba tersebut mengakui akan keterbatasannya serta mengagungkan Dzat yang telah menciptakannya itu dengan media berdoa.[16] Sehinga dapat menunjukkan adanya suatu perbedaan tingkatan antara yang menyembah dengan yang disembah. Doa dalam pengertian ini merupakan definisi yang diberikan oleh Rasulullah sendiri pada pembahasan sebelumnya.
                 Doa bermakna ibadah ini, diantaranya terdapat dalam surat Al-A’raf: 194.
إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ عِبَادٌ أَمْثَالُكُمْ فَادْعُوهُمْ فَلْيَسْتَجِيبُوا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru (sembah) selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka Seru (sembah)lah berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.
                 Lafadz tad’una pada ayat ini bermakna ibadah (menyembah).[17] Dimaksudkan beribadah karena menjadikan berhala-berhala tersebut sebagai tuhan selain Allah swt. Namun dalam tafsirnya tersebut, al-Alusiy berpendapat bahwa tad’una dalam ayat ini memiliki dua kemungkinan makna, yakni yang pertama menyembah/ beribadah, dan yang kedua ialah tasmiyyah (penamaan/ memberi nama). Maksudnya menamakan berhala-berhala tersebut sebagai Tuhan. Namun makna tad’una dalam ayat ini menurut kebanyakan Ulama (Mufassir) ialah beribadah (menyembah).
b)     Permohonan
            Doa bermakna permohonan ini terkait dengan tujuan seorang hamba dalam melafalkan doa tersebut kepada Tuhannya. Karena seorang hamba membutuhkan sesuatu yang dikehendakinya dengan media doa ini. Sehingga salah satu urgensi doa selain untuk beribadah ialah memohon sesuatu kepada Dzat yang Maha Mendengar doa hamba-hambanya. Doa dalam pengertian ini seperti tedapat dalam  QS. Al-An’am [6] : 41
بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ.....
            (Tidak), tetapi Hanya kepadanyalah kamu bedoa, Maka dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadanya...................
c)      Istighatsah (meminta pertolongan)
                 Pada dasarnya makna doa ini (meminta pertolongan) tidak jauh berbeda dengan point sebelumnya, yakni permohonan. Hanya saja doa jika bermakna permohonan bersifat lebih umum daripada meminta pertolongan. Doa dengan makna meminta pertolongan terdapat dalam surat al-Qashshash [28]: 64
وَقِيلَ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ وَرَأَوُا الْعَذَابَ لَوْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَهْتَدُونَ
Dikatakan (kepada mereka) "Minta tolonglah kamu sekalian kepada sekutu-sekutu kamu", lalu mereka meminta pertolongan kepadanya (sekutu-sekutu mereka), Maka sekutu-sekutu itu tidak memperkenankan (permintaan) mereka, dan mereka melihat azab. (mereka ketika itu berkeinginan) kiranya mereka dahulu menerima petunjuk.
d)     Nida’ (panggilan)
                 Jika sebelumnya terdapat lafadz Nada (memiliki makna asli memanggil) yang dapat bermakna da’a (memohon), maka dalam al-Qur’an juga terdapat sebaliknya, yakni menggunakan redaksi da’a-yad’u tapi memiliki arti nada-yunadi (memanggil). Namun pada hakikatnya, dua kata tesebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Karena kecenderungan Doa juga menggunakan Adat al-Nida’, yang dimaksudkan untuk memanggil Dzat yang sedang dimintai permohonan, yakni Yaa Allah, Allahumma, Yaa Rabbi, dan lain sebagainya.[18] Diantara ayat yang mengandung lafadz Du’a yang memiliki arti memanggil ialah QS. Al-Rum [30]: 25.
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
                 Namun dalam ayat ini tidak ada kaitannya dengan permohonan, dengan kata lain mutlak merupakan panggilan. Hal ini dikarenakan panggilan tersebut ditujukan kepada yang lebih rendah dari yang lebih tinggi, Allah kepada makhluk.
e)      Dakwah
                 Dalam surat Nuh diceritakan, bahwa setelah Nabi Nuh mencurahkan segenap daya dan upaya dalam berdakwah kepada kaumnya untuk menyemmbah Allah san mengesakan-Nya. Akan tetapi kaum tidak simpati kepadanya bahkan mencelanya dan menghinakannya. Maka Nabi Nuh mengadu kepada Allah swt.
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا (5) فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا (6) وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا (7) ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارً (8)
Nuh berkata: "Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku Telah berdakwah kepada kaumku malam dan siang,  Maka dakwahku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan Sesungguhnya setiap kali Aku menyeru(berdakwah kepada)  mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian Sesungguhnya Aku Telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan.
               Lafadz doa dalam ayat ini bermakna dakwah, yakni ajakan untuk merubah dari kondisi kebatilan menuju kondisi kebenaran dan keimanan kepada Allah swt.[19]
f)       Seruan/ Ajakan
                 Hampir sama dengan makna-makna doa sebelumnya, seruan atau ajakan ini sudah terkover secara umum pada pemaknaan doa sebagai dakwah ataupun panggilan. Namun letak perbedaannya, seruan ini bisa ditujukan oleh hamba kepada Tuhannya (karena dalam doa itu menyeru kepada Tuhannya untuk mengkabulkan apa yang ia minta) maupun juga dari Allah kepada hambanya yang berupa perintah.
3.   Macam-macam Doa yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits
Imam Sa’id bin Ali bin Wahab al-Qahthani telah mengumpulkan lafaz-lafaz doa yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau berhasil mengumpulkan 122 contoh lafaz doa dan 43 di antaranya berasal dari Al-Qur’an, seperti:
1.        ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين (الأعراف : 23(
2.        رب إني أعوذ بك أن أسألك ما ليس لي به علم وإلا تغفر لي وترحمني أكن من الخاسرين ) هود: 47(
3.        رب اغفر لي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ) نوح : 28(
4.        ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم وتب علينا إنك أنت التواب الرحيم ) البقرة :127 ، 128(
5.        رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذريتي ربنا وتقبل دعاء ) إبراهيم : 40(
6.        اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل ، والجبن والهرم والبخل ، وأعوذ بك من عذاب القبر ، ومن فتنة المحيا والممات  (البخاري 7 / 59 ، ومسلم 4 / 2079)
7.        اللهم أصلح لي ديني الذي هو عصمة أمري ، وأصلح لي دنياي التي فيها معاشي ، وأصلح لي آخرتي التي فيها معادي ، واجعل الحياة زيادة لي في كل خير ، واجعل الموت راحة لي من كل شر (أخرجه مسلم 4 / 2087)
8.        اللهم إني أسألك الهدى ، والتقى ، والعفاف ، والغنى (أخرجه مسلم 4 / 2087)
9.        اللهم آتنا في الدنيا حسنة ، وفي الآخرة حسنة ، وقنا عذاب النار (البخاري 7 / 163 ، ومسلم 4 / 2070)
10.    اللهم إني أعوذ بك من فتنة النار وعذاب النار ، وفتنة القبر ، وعذاب القبر ، وشر فتنة الغنى ، وشر فتنة الفقر ، اللهم إني أعوذ بك من شر فتنة المسيح الدجال ، اللهم اغسل قلبي بماء الثلج والبرد ، ونق قلبي من الخطايا كما نقيت الثوب الأبيض من الدنس ، وباعد بيني وبين خطاياي كما باعدت بين المشرق والمغرب . اللهم إني أعوذ بك من الكسل والمأثم والمغرم (البخاري 7 / 161 ، ومسلم 4 / 2078)[20]
4.       Kajian Tafsir Al-Baqarah [2] : 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَÇÊÑÏÈ  
                 Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
            Pada ayat diatas kalimat Da’wah berarti permintaan, seperti yang telah diterangkan dalam Tafsir As-Sya’rawi, bahwasannya lafadz Da’wah bermakna Al-Su’al yakni permohonan. Kemudian dalam kitab Tafsir tersebut diterangkan bahwasannya Allah akan mengabulkan permintaan hambanya, seperti dalam Hadits Qudsi-Nya :
 الله سبحانه يقول في الحديث القدسي : ) ثلاثة لا ترد دعوتهم ، الصائم حتى يفطر ، والإمام العادل ، ودعوة المظلوم ، يرفعها الله فوق الغمام وتفتح لها أبواب السماء ، ويقول الرب : وعزتي لأنصرنك ولو بعد حين [21](
            Sedangkan makna dari lafadz Da’wah dalam ayat di atas menurut Abu Ishaq mempunyai tiga macam makna, seperti dalam ungkapan beliau di dalam kitab Lisan al-‘Arab:
“Dalam firman Allah Ujibu Da’wah al-Da’i idza Da’an makna lafadz Da’wah mempunyai tiga macam makna. Pertama, bermakna pengesaan Allah dan pujian kepada-Nya, seperti pada lafadz Yaa Allah Laa Ilah Illa Anta dan lafadz Rabbana Laka al-Hamdu. Kedua, permohonan ampunan dan Rahmah kepada Allah swt, seperti pada lafadz Allahumma Ighfir Lana. Ketiga, al-Da’wah bermakna permohonan bagian dari (rizqi) kepada Allah yang bersifat duniawi, seperti pada lafadz Allahumma Urzuqni Malan Wa Walada.”[22]
Apabila dilihat dari segi Asbab al-Nuzul, ayat ini turun ketika salah seorang Sahabat bertanya kepada Rasulullah saw : “Wahai Rasulullah, apakah Allah itu dekat, sehingga kami minta keselamatan kepada-Nya atau jauh sehingga kami memanggil-Nya?” Rasulullah terdiam dan turunlah ayat tersebut. Selanjutnya dalam Tafsir Al-Sa’dy (Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan) diterangkan bahwasannya lafadz al-Du’a’ dalam ayat tersebut bisa bermakna dua macam, yakni permohonan dan Ibadah.[23]
Dari sisi Asbab al-Nuzul ayat ini, lebih jauh lagi terdapat lima pendapat sebagaimana yang terdapat dalam kitab tafsir Zad al-Maisir, pertama seperti yang telah diuraikan di atas. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa ayat ini turun ketika kaum Yahudi Madinah bertanya kepada Rasul: “Wahai Muhammad, bagaimana mungkin Tuhan dapat mendengar doa kita, sementara kamu pernah bilang bahwasannya jarak antara kita dengan langit ialah perjalanan selama lima ratus tahun?”. Kemudian turunlah ayat ini.
Ketiga, seseorang pernah bertanya kepada Rasul: “Wahai Rasul, apabila kami mengetahui tanda-tanda hari kiamat, apakah Allah akan menerima doa-doa kami?”. Kemudian turunlah ayat ini. Keempat, salah seorang sahabat bertanya: “Dimanakah Allah?”, lantas turunlah ayat ini. Kelima, seorang diantara sahabat pernah melakukan apa yang diharamkan oleh Allah pada waktu berpuasa, yakni makan dan juga berjima’, sehingga dia bertanya kepada Rasul: “Bagaimanakah cara kami bertaubat dari apa yang telah kami perbuat?”, lalu turunlah ayat tersebut.[24]
Dari kelima Asbab al-Nuzul di atas, dapat digeneralisasikan bahwasannya ayat tersebut turun dilatarbelakangi oleh pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah, baik itu dari kaum Yahudi, maupun dari kalangan sahabat sendiri. Dan yang jadi titik tekan dari kelima  Asbab al-Nuzul tersebut, ialah pertanyaan mengenai posisi Allah, sehingga turunlah ayat yang mengasusimkan bahwa Allah sangatlah dekat dengan kita, dan konsekwensi dari kedekatan tersebut ialah mudahnya Allah mendengar doa para hambanya untuk kemudian dikabulkan oleh-Nya.

D.    Hal-hal lain mengenai doa
Allah sudah pasti akan menjawab doa manusia. Jika seseorang berdoa, paling tidak dia akan mendapatkan 3 macam perlakuan; dikabulkan waktu itu juga, ditunda pengkabulan doanya, atau diganti dengan hal lain yang lebih baik untuk pendoa. Hal ini sebagaimana yang diinformasikan sabda Rasulullah:
إنه لا يضيع الدعاء بل لا بد للداعي من إحدي الثلاث: إما ان يجعل له دعوته وإما أن يدخرها له في الأخرة وإما ان يصرف عنه من السوء مثلها (أخرجه أحمد)
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan doa salah seorang di antara kamu, melainkan mestilah bagi orang yang berdoa salah satu dari 3 perkara: mengabulkan Allah doanya, atau menundanya hingga di akhirat, atau menggantinya dengan yang lainnya.” (HR. Ahmad)[25]
Untuk itu, perlulah beberapa kiat yang mesti dijalankan ketika berdoa, dengan orientasi melakukan doa terbaik dan Allah mengabulkan doa tersebut. Hal ini bisa berupa adab dalam berdoa. Tidak dipungkiri, ketika menghadap manusia dalam rangka meminta pertolongan, seseorang terikat suatu adab sopan-santun. Apalagi ketika berhadapan dengan Allah, tentunya di sana juga terdapat kode etik yang harus diperhatikan.
Berikut ini disampaikan beberapa adab dalam berdoa yang dikutip dari kitab ad-Du’a wa Yalihi al-‘Ilaj bi al-Ruqy min al-Kitab wa al-Sunnah [26]:
1.      Berdoa dengan rasa ikhlas
2.      Memulai dan menutup doa dengan memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah
3.      Yakin dengan apa yang didoakan dan yakin bahwa doa akan dikabulkan
4.      Perlahan-lahan dan tidak terburu-buru
5.      Menghadirkan hati dalam doa
6.      Berdoa dalam keadaan lapang maupun sempit
7.      Tidak berdoa melainkan hanya kepada Allah
8.      Memelankan suara antara terdengar dan tidak
9.      Mengingat dosa dan istighfar atasnya dan mengingat nikmat dan mensyukurinya
10.  Tidak dituntut bersajak dalam doa
11.  Tunduk, khusu’, harap, dan takut
12.  Menolak kezhaliman dan bertaubat
13.  Menghadap kiblat
14.  Mengangkat tangan
15.  Berwudhu’ sebelum berdoa
16.  Memulai doa untuk dirinya sendiri sebelum mendoakan orang lain
17.  Bertawassul dengan Asma Allah, atau amalan shaleh, atau doa seseorang yang shaleh.
18.  Menggunakan pakian yang halal, makanan dan minuman yang halal juga
19.  Tidak mendoakan kesalahan atau pemutusan sillaturrahim
20.  Menyuruh kepada ma’ruf dan menghalangi kemungkaran
21.  Menghindari kazhaliman
Di samping itu, juga ada beberapa waktu yang dinilai lebih jika berdoa di dalamnya[27]:
1.      Malam lailah al-qadr
2.      Pada penghujung akhir malam
3.      Selepas shalat fardhu
4.      Antara azan dan iqamah
5.      Dikala azan
6.      Disaat hujan turun
7.      Di majlis zikir muslimin
8.      Doa di bulan Ramadhan
9.      Doa di hari Arafah
10.  Doa seseorang terhadap saudaranya di dalam hati
11.  Selepas meninggalnya seseorang
12.  Jika tidur dalam keadaan suci, dan bangun lalu berdoa
13.  Sewaktu sujud
14.  Ketika minum air zamzam
15.  Berdoa sesaat di hari Jumat
16.  Dikala bala tentara muslim berkumpul untuk perang.
                                               

  1. Penutup
Kajian yang terdapat dalam al-Qur’an tidak akan pernah ada hentinya. Seiring berkembangnya zaman ragam penafsiran al-Qur’an senantiasa muncul dan mencetuskan pemikiran-pemikiran cemerlang dari para mufassir. Begitu juga halnya pembahasan doa dalam al-Qur’an, tidak akan mampu ter-cover dalam satu makalah ataupun buku yang tebal sekalipun.
Makalah ini bukanlah hasil final dari sebuah pembahasan tentang doa dalam al-Qur’an, dan memungkinkan terdapat banyaknya kesalahan. Penulis hanya berharap akan ada peneliti-peneliti dari cendekiawan muslim yang bersedia menyumbangkan fikirannya untuk kembali menelaah ulang pembahasan doa dalam al-Qur’an. Sehingga dapat mengembangkan wacana keislaman baik dari sisi Intelektualitas, moralitas, maupun spiritualitas. Akhir kata penulis mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan, baik dari segi penulisan maupun kesalahan informasi (data) yang disampaikan.


[1]Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Kitab Jawabul Kafi Jawaban Lengkap Tentang Obat Mujarab terj. Drs. Anwar Rasyidi ( Semarang : CV. Adhi Grafika, 1993) hlm. 26. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim, melainkan pendapat orang lain yang dikutipnya tanpa menyebutkan nama, yang kemudian dibantah oleh Ibn Qayyim sendiri.
[2]Moh. Soehadha, “Pengertian Antropologis Tentang Agama dan Pengertian Oleh Negara Tentang Agama di Indonesia”, ESENSIA, VI no.2, Juli 2005, hlm. 183-190.
[3] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), hlm. 407.
[4] A. Baikuni dkk, Ensiklopedi al-Qur’an, (Yogyakarta : Dana Bhakti Primayasa,2003 ), hlm. 436.
[5] Muhammad Ibn Mukarram Ibn Mandzhur, Lisan al-‘Arab juz 1 hlm. 53. CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[6] Muhammad Ibn Mukarram Ibn Mandzhur, Lisan al-‘Arab juz 1 hlm. 51.
[7] A. Baikuni dkk, Ensiklopedi al-Qur’an, hlm. 436.
[8] Muhammad Al-Fairuz Abadi, Kamus Al-Muhith Juz 3 hlm. 419 ,CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[9] Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah Juz 2 hlm. 8396 ,CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[10] Ibn As-Siraj, Al-Ushul fi Al-Nahw juz 2 hlm. 170, CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[11] An-Nawawi, Riyadl As-Shalihin hlm. 157, CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008
[12] A. Baikuni dkk, Ensiklopedi al-Qur’an, hlm. 436-437.
[13] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda dan juga zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka
[14] Maksudnya: tidak mempunyai keturunan yang mewarisi
[15] Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.
[16] A. Baikuni dkk, Ensiklopedi al-Qur’an, hlm. 437.
[17] Syihab al-Din al-Alusiy, Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir al-Qur’an al-Adhim wa al-Sab’ al-Matsani Juz VI hlm. 485. CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008
[18] A. Baikuni dkk, Ensiklopedi al-Qur’an, hlm. 439.
[19] A. Baikuni dkk, Ensiklopedi al-Qur’an, hlm. 439.
[20] Sa’id ibn ‘Ali ibn Wahab al-Qahthaniy, al-Du’a wa Yalihi al-‘Ilaj bi Ruqy min al-Kitab wa al-Sunnah, (Saudi Arabia: Wizarah al-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Auqaf wa al-Da’wah wa al-Irsyad, 1423 H), hlm. 7.
[21] Tafsir As-Sya’rawi Juz 1 hlm. 476, CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008. Dalam CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah Kitab Tafsir As-Sya’rawi ini tidak ditemukan pengarangnya, dan penulis kesulitan mencari kitab sumber asli dari kitab tersebut.
[22]Muhammad Ibn Mukarram Ibn Mandzhur, Lisan al-‘Arab juz 14 hlm. 257.
[23]Abd Al-Rahman, Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan Juz 1 hlm. 87, CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[24] Ibn al-Jauzy, Zad al-Maisir Juz I hlm. 175, CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[25] Al-Shan’ani, Subul as-Salam Juz VII hlm. 249, , CD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[26] Sa’id ibn ‘Ali ibn Wahab al-Qahthaniy, al-Du’a wa Yalihi al-‘Ilaj bi Ruqy min al-Kitab wa al-Sunnah, hlm. 4.
[27] Sa’id ibn ‘Ali ibn Wahab al-Qahthaniy, al-Du’a wa Yalihi al-‘Ilaj bi Ruqy min al-Kitab wa al-Sunnah , hlm. 5.

0 komentar:

Posting Komentar