Hampir Tak Merdeka*


Aku hidup di atas tanah. . .
Yang mampu mengubah tongkat . . .
Menjadi pohon berbuah . . .

                        Aku tinggal di bagian bumi. . .
                        Yang tak henti dialiri. . .
                        Air jernih. . .               

Aku dilahirkan di Negara. . .
Yang katanya. . .
Paling subur di dunia. . .

                        Di negeriku, tersimpan, , ,
                        Emas, intan, dan batu permata. . .

Negeriku memiliki lautan. . .
Yang ikannya tak habis. . .
Dimakan tujuh turunan. . .

                        Negeriku kaya. . .
                        Ya. . .
                        Kaya. . .
                        Tapi rakyatnya tak pernah sejahtera. . .

Negeriku subur. . .
Tapi manusianya. . .
Jauh, . . .
Dari kata makmur. . .

Mereka bilang. . .
Negeriku itu paru-paru dunia. . .
Tapi paru-paru kami sendiri. . .
Tak bisa bernafas lega. . .

Kita merdeka. . .
Enam puluh sembilan tahun lamanya. . .
Tapi apa  ? ? ?

Makan masih minta. . .
Beras kita tak punya...

                        Tidak sadar kah kita ? ? ?
                        Bangsa lain. . .
                        Sedang tersenyum sinis. . .
                        Di atas kemerdekaan kita. . .

Tidak ingatkah kita ? ? ?
Tiga ratus lima puluh tahun. . .
Belanda menjajah. . .
Hanya karena rempah-rempah. . .

                        Tapi kini. . .
                        Kita harus mendatangkannya. . .
                        Dari negeri tetangga. . .


  

Lantas apakah yang hendak kau teriakkan ? ? ?
Reformasi ?
Revolusi ?
Atau kah demokrasi ?

                        Itu semua tak ada arti. . .
                        Jika tak kuasa. . .
                        Mengisi perut bangsa kita sendiri. . .
                        Dengan yang kita miliki. . .
                        Dengan segala yang tumbuh. . .
                        Dari tanah ini. . .
                        Tanah Indonesia. . .

Tidak kah kita lihat ? ? ?
Sawah-sawah kini. . .
Ditanami gedung-gedung megah. . .
Hutan-hutan ditumbuhi swalayan waralaba. . .
Para pemilik modal, , , menari-nari. . .
Di atas puing reruntuhan lumbung padi. . .

                        Dalam kelaparannya. . .
Petani hanya bisa berucap:
“sabar buk, sabar nak”
Tuhan tidak tidur. . .



Haruskah kita diam dan menunggu ? ? ?
Tidak kawan. . .
Tidak . . .
Bangunlah. . .
Bangkitlah. . .
Revolusi ini belum selesai. . .

                        Jangan biarkan sawah kita. . .
                        Digerus oleh keserakahan. . .
                        Jangan relakan tanah subur kita. . .
                        Hanya ditumbuhi gedung pencakar langit menjulang tinggi. . .

Kita bangsa mandiri. . .
Tanam apa yang ingin dimakan. . .
Makan apa yang telah ditanam. . .
Itulah filosofi bangsa ini. . .

                        Jika padi tak mencukupi. . .
                        Gantilah dengan ubi. . .


                                                                                                Bintuhan, 17 Juni 2014


*Puisi dipentaskan dalam launching buku Bupati Kaur, Dr. Ir. H. Hermen Malik, M.Sc., "Melepas Perangkap Impor Pangan", di Auditorium Gedung Bulog Jakarta.

1 komentar:

Posting Komentar

Khilafah Islamiyyah: Potret Kegelisahan Anak Bangsa*




Khilafah Islamiyyah, bagi sebagian kalangan—terutama bagi anak sekolah dan mahasiswa yang baru beranjak gedhe—istilah ini cukup menarik untuk diperbincangkan. Pasalnya, khilafah ini mengajak kita berimajinasi dan bermimpi tentang kondisi sebuah negara yang suci, yang jauh dari kata maksiat, dan tentu akan mengantarkan masyarakatnya ke jalan surga, jalan yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga menjadi wajar, ketika motivasinya adalah kebahagiaan pada kehidupan kedua, tentu mayoritas dari kita akan terpanggil hatinya.

Para remaja yang di kampungnya memiliki “keyakinan warisan”, awal mulanya mereka diajak untuk mempertanyakan kembali apa yang dilakukan oleh bapak, ibu, pakdhe, paklek, dan juga mereka sendiri selama ini. Sudah sesuai syariat kah, ketika bapaknya mengikuti rutinan yasin-tahlil setiap malam jumatnya ? Kira-kira ibunya bisa masuk surga atau tidak, dengan memasakkan makanan pada bulan maulud untuk suguhan di musholla samping rumahnya ? Apakah doa yang dikirimkan kepada mendiang kakeknya di kuburan setiap idul fitri bisa tersampaikan atau tidak ? Pertanyaan-pertanyaan serupa terus saja diterima oleh mereka, sehingga membuat mereka ragu akan keyakinan warisan yang selama ini mereka pegang. Ketika mereka sudah memasuki fase ragu, kemudian disisipkanlah doktrin ajaran yang sakral, al-Qur’an dan Hadis, legislator utama agama Islam, dan menghakimi ajaran bapak-ibunya di kampung adalah amalan yang tertolak, bahkan digolongkan perkara munkar dan sesat.

Setelah doktrin itu tertancap kuat di dada mereka, ditambahkanlah gambaran fakta tentang “rusaknya moralitas” sebagai motivasi agar mereka menjadi pelopor generasi suci yang akan menegakkan kalam ilahi di muka bumi ini. Perjudian, pelacuran, pergaulan bebas, narkoba, miras, adalah isu-isu tepat untuk digaungkan dan ditiupkan ke telinga mereka. Supaya mereka sadar, bahwa dunia ini semakin mendekati kehancurannya, dan hanya lewat tangan mereka lah sebagai generasi emas yang mampu melenyapkan kemungkaran-kemungkaran tersebut. Belum cukup sampai di sini, para remaja lugu itu kembali harus disesakkan dadanya dengan informasi bercampur provokasi tentang bejatnya para pejabat di negeri ini. Mulai dari korupsi, jejaring mafia anggaran, kongkalikong politik, hingga skandal-skandal seks para petinggi birokrasi agar menguatkan opini bahwa bangsa ini telah rusak, dan Indonesia sudah tidak bisa diperbaiki lagi.

Saat gemuruh di dada mereka terus berkobar untuk meneriakkan semangat perbaikan nan Islami yang mereka cita-citakan, diciptakanlah “common enemy” dalam alam pikiran mereka lewat mempertontonkan video-video penindasan dan penistaan yang teralamatkan kepada muslim di Palestina, Suriah, Burma, dan perampasan hak hidup kaum muslimin di tempat-tempat lain, sehingga bisa membangkitkan semangat juang mereka. Sebagai bumbu pelengkap, dibubuhilah iming-iming bidadari yang menanti para syuhada di pintu gerbang surga. Pernikahan Syuhada pun dilangsungkan, demi menumbuh-kembangkan semangat jihad di hati para remaja yang sedang haus siraman spiritual itu.

Dari rangkaian indoktrinasi tersebut, hanya tersisa satu jalan keluar “angkat senjata, dan maju berperang”. Allahu Akbar adalah kalimat sakti yang mampu membakar hati yang sedang dikuasai oleh semangat menggelora. Khilafah Islamiyyah adalah satu-satunya solusi bagi mereka yang merasa tidak bisa lagi mengurai berbagai konflik yang terus berkepanjangan. Slogan-slogan yang disandarkan kepada kitab suci al-Qur’an terus menerus digaung-gemakan, “Wa man lam yahkum bima anzala Allah fa ulaa’ika hum al-kaafiruun”, Barang siapa yang tidak berhukum menggunakan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka ia termasuk golongan orang-orang kafir.

Secara berduyun-duyun para remaja itu mengambil jalannya, jalan yang mereka yakini sebagai kebenaran mutlak. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anak pengusaha yang ayahnya sibuk dengan dunia bisnisnya, anak pedagang pasar yang membiarkan buah hatinya tumbuh dengan kedewasaannya, anak petani yang memasrahkan sepenuhnya kesalehan anaknya kepada Yang Maha Kuasa, hingga anak para kyai kampung yang merasa menemukan dunia baru yang lebih menantang dibandingkan dunia abahnya yang cenderung tenang dan tentram. Mereka memasuki satu tahap baru dalam kehidupannya, sebagian menyebutnya hijrah, dalam rangka kembali kepada ajaran yang murni seperti pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam proses kaderisasinya, mereka menempuh beragam cara dan media, dimulai dari media dakwah di jejaring sosial, media cetak, website, penerbitan buku-buku, halaqah di masjid-masjid, organisasi siswa di sekolah-sekolah, seminar, dan juga kaderisasi di berbagai perguruan tinggi. Diantara sekian banyak jalan, sekolah dan kampus merupakan dua pintu gerbang ideal untuk memikat hati para calon syuhada-syuhada muda.

Masa belajar di sekolah dan perguruan tinggi adalah periode tepat dalam pembentukan jati diri seseorang, untuk menanamkan mana ideologi yang benar, dan mana yang bersebrangan. Gerakan jihad mereka adalah menyebarkan paham kepada adik tingkat mereka. Para senior siap siaga 24 jam mendampingi adik tingkatnya, baik dari sisi waktu, berbagi pengalaman, hingga penanaman doktrin, demi bertambahnya calon-calon tentara Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah fakta yang secara perlahan terus berjalan, dan lambat laun mengambil porsi besar dalam pewarnaan corak Islam di Indonesia. Khilafah Islamiyyah yang dulunya dianggap sebagai utopis dan mimpi belaka, bukan tidak mungkin akan menggeser Islam khas Nusantara yang telah bertahan selama berabad-abad lamanya di bumi Indonesia. Hingga pada gilirannya, karakter dasar warga Indonesia yang terkenal santun dan ramah, akan berubah menjadi bengis dan pemarah.

Sekarang tidak penting memperdebatkan aliran Islam mana yang paling benar, karena pembahasan itu akan bermuara pada saling membenarkan golongannya. Ini bukan saatnya lagi membahas tentang siapa yang paling berhak masuk surga, tapi ini tentang Indonesia. Tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang anak mudanya sedang disusupi paham brutalisme untuk mencapai nilai-nilai agama yang mereka impikan. Perpecahan dan perang saudara di negara-negara timur tengah adalah gambaran Indonesia ke depan, apabila permasalahan ini tidak kunjung kita benahi dari sekarang. Wa Allah a’lam bi al-showab.
           
                                                                                                Kaur, 30 Maret 2015




[*] Artikel dimuat Radar Kaur Edisi 2 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar

INDONESIA-KU KINI*

         Oleh: Abdul Qodir Nasich

            Pagelaran drama di negeri ini tak kunjung usai. Peran demi peran para lelakon kekuasaan senantiasa dimainkan dengan cantik, menarik, dan cukup menegangkan. Setelah pilpres yang menelan biaya triliyunan, rakyat kembali harus bertepuk tangan atas naik-turunnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Naik turunnya harga BBM tak ubahnya permainan layang-layang, kadang ditarik dan kadang juga harus diulur. Permainan layang-layang BBM ini diikuti oleh irama tarian kenaikan harga gas elpiji, tarif dasar listrik, dan beberapa harga kebutuhan pokok lain. Namun sayangnya, harga-harga lain itu tak mengikuti tarik-ulur harga BBM, hanya bisa naik tapi tak kuasa turun.

            “Sebagai penonton, rakyat hanya bisa tertawa riang sambil bercerita kepada anaknya, bahwa esok pasti masih ada nasi yang disisakan oleh Tuhan untuk kita makan.”

            Agar tak bosan dengan adegan kenaikan BBM, rakyat dihibur oleh nuansa konflik antara Polri dan KPK. Sebuah pertunjukan yang menguras emosi. Dua lembaga yang berbaju hukum suci ini, mempertontonkan sebuah sandiwara yang memperebutkan klaim kebenaran. Para pejabat anti-korupsi di KPK ditersangkakan dan ditetapkan sebagai perampok kekayaan Negara, sedangkan dalam kurun waktu tiga bulan institusi Polri dibiarkan tanpa nahkoda. Sebuah keadaan yang mengundang gelak tawa di hati rakyatnya.

            Pertunjukan belum lah selesai sampai disini. Rupiah yang kita banggakan terus menerus melemah nilainya. Angka 13.000 hanya setara dengan angka satu. Rupiah dicetak dengan full warna, tapi sayangnya, nilainya tak lebih berharga dari kertas hitam-putih terbitan Amerika. Kesuburan dan kekayaan alam negeri ini tak mampu menjadikan negeri ini lebih makmur dari negeri-negeri paling gersang di muka bumi.

            Sungguh ironis, banyak orang berkata: “surganya dunia adalah Indonesia”, tapi keadaan rakyatnya jauh dari gambaran “penduduk surga”. Bila keadaan negeri ini sudah sedemikian rumitnya, lantas apa yang bisa kita perbuat? Pasrah ? Putus Asa ? atau malah memilih jalan sebagai pemberontak ?

            Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis teringat sebuah kisah.

Pada Agustus 1945, Hiroshima dan Nagasaki dibumi-hanguskan oleh tentara sekutu. Sekitar 220.000 jiwa rakyat Jepang kehilangan hak hidupnya. Jepang lumpuh, fasilitas-fasilitas umum rata dengan tanah, beberapa industri besar mati total, pusat-pusat pemerintahan tidak bisa lagi difungsikan. Pada saat seperti itu, ketika seorang pemimpin sudah selayaknya panik, Kaisar Hirohito tetap berfikir jernih, dan melontarkan satu pertanyaan:

“Berapa jumlah guru yang masih hidup?”

Sebuah pertanyaan yang didasarkan pada kematangan berfikir seorang pimpinan negara. Bukan nyawa jenderal yang ditanya, bukan pula pengusaha kaya, melainkan nyawa rakyat jelata yang berprofesi sederhana, namun bermakna, yaitu Guru. Pasca kehancuran tersebut, Jepang membangun kembali sistem pendidikan. Tidak hanya memperkuat kebijakan pendidikan dalam negeri, tapi juga mengirimkan pelajar-pelajarnya ke Eropa dan Amerika. Sekembalinya dari study, mereka dituntut melakukan inovasi dari teori yang telah mereka dapat, dan tentu, harus memberikan kontribusi nyata kepada negaranya. Hasilnya mencengangkan, dalam kurun waktu tiga puluh tahun, Jepang pulih, dan mampu bersaing menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia.

Jika Jepang yang pernah terpuruk dan hancur, kemudian lewat pendidikan bisa bangkit dan tumbuh sebagai kekuatan yang diperhitungkan di dunia, kenapa tidak dengan Indonesia ? Kisah ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa hanya dengan pendidikan lah sebuah bangsa bisa mencapai puncak kejayaannya.

Kita tidak bisa berspekulasi, kapan tepatnya bangsa ini akan menjadi kekuatan besar. Namun setidaknya kita harus menyisakan secercah harapan di hati kita, lewat memberikan pendidikan terbaik untuk penerus generasi kita, Negeri ini akan bisa lebih baik dari hari ini.

Dan Kaur telah memulainya.

Wallahu a’lam bis-showab.


*Artikel dimuat Radar Kaur Edisi 8 April 2015

1 komentar:

Posting Komentar

Ibu Pertiwi


Ibu pertiwi..

Kau sudah Nampak tua….

Tubuhmu tak setegap dulu..

Dulu..

Saat jutaan pemuda rela mati untukmu…



Kini kau terlihat rapuh…

Orang di sekelilingmu..

lebih menginginkan rupiahmu…

daripada mempertahankan martabatmu..



Ibu pertiwi…

Kau tak sehat lagi..

Seringkali batukmu mengeluarkan darah…

Kini kau hanya terbujur kaku..

Menikmati segala sakit batinmu…



Tanahmu diambil..

Kau diam saja..

Budayamu dicuri..

Kau bilang tak mengapa…

Bangsa lain melecehkanmu..

Kau hanya mampu berkata..

Lebih baik kita maafkan dan mengalah..

Dan ketika rakyatmu..

Merampas seluruh hartamu..

Kau tak mampu lagi menegurnya…



Tapi….

Kami yang lahir dari perutmu..

Yang minum air susumu…

Yang ditimang oleh tangan kasihmu..

Sampai mati pun..

Tak akan rela..

Martabatmu dihinakan..

Penderitaanmu ditertawakan..

Dan kekayaanmu..

Dirampas habis-habisan..

Oleh saudaraku..

Yang juga anak kandungmu…



Wahai ibu pertiwi..

Saksikanlah..

Dengarkanlah..

Kami yang berdiri tegak di tengah hutan ini..

Di bumi Indonesia ini..

Atas nama Tuhan berjanji,,

Akan menuntun lumpuhmu..

Dengan ilmu pengetahuanku..

Akan merawat sakitmu..

Dengan prestasiku..

Akan mengusap..

Darah dan keringat dinginmu..

Dengan bhakti dan pengabdianku..



Aku bersumpah ibuku..

Aku akan menjaga…

Kehormatanmu..

Kedaulatanmu..

Keutuhan NKRI-mu..

Dengan segenap jiwa,

Raga..

Darah..

Dan seluruh sisa umur serta kemampuanku…


Untuk membuktikan pada dunia..

Kitalah bangsa terhebat yang pernah tercipta..



Meski kami sadar..

Kami bukan generasi terbaik negeri ini..

Namun kami..

Hanya membenci…

Pelecehan dan Korupsi..              


Bintuhan, 14 Desember 2013.

0 komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Pesantren; Mutiara Terpendam*


Indonesia tidak henti-hentinya didera krisis berkepanjangan, terus merangkaknya kenaikan harga bahan bakar, yang selalu diiringi dengan melunjaknya harga pangan, menjadikan rakyat menjerit kelaparan. Belum lagi kemiskinan yang tak kunjung terselesaikan, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang maksimal, menjadikan kaum lemah semakin termarjinalkan. Semua problematika itu tidak rehat menyerang silih-berganti, bertubi-tubi. Ironisnya, krisis itu tidak hanya terjadi dalam sektor ekonomi dan kesehatan belaka, tapi juga merambah pada wilayah pendidikan, yaitu titik paling fundamental dalam pembangunan suatu bangsa dan negara.
Dikatakan kegagalan suatu sistem pendidikan, setidaknya bisa kita lihat dari dua sisi, makro dan mikro. Dari makronya, bisa kita rasakan bersama, saat sistem pendidikan formal yang bernama “sekolah” itu telah berhasil melahirkan pemikir-pemikir hebat, tokoh-tokoh yang cerdas, namun ketika dihadapkan dalam realita sosial—terkhusus bagi mereka yang masuk lingkaran birokrasi pemerintahan—sebagian dari pemikir-pemikir cerdas itu kehilangan nuraninya, dan banyak dari mereka yang menjelma menjadi koruptor pesakitan yang gila kekayaan, dan hidupnya berujung di jeruji besi tahanan. Sedangkan dalam ruang lingkup mikro, dapat kita lihat dari kenalakan remaja yang seringkali memenuhi informasi harian kita, baik itu tawuran antar pelajar, penyalah-gunaan narkotika, hingga kasus-kasus pelecehan seksual yang berupa pemerkosaan, seks bebas, sampai pada kasus terakhir, yaitu pembuatan video mesum pelajar yang sama sekali tidak pantas dilihat dan dibuat oleh masyarakat Indonesia. Parahnya, ini terjadi tidak hanya di kalangan mahasiswa ataupun pelajar SMA saja, tapi siswa SMP pun sudah banyak yang mempraktikkannya. Tentu ini pukulan telak, karena bagaimana pun, pendidikan adalah gerbang kemajuan suatu negara. Jika sekarang, generasi terpelajarnya saja sudah sedemikian bejatnya, bagaimana nasib bangsa ini, sepuluh hingga lima puluh tahun ke depan?
Tentu menjadi tanggung jawab kita bersama, untuk mencari formulasi pendidikan yang tepat, guna membentengi moral anak bangsa. Terbukti, pendidikan yang hanya mengedepankan kemampuan kognitif belaka, menemui banyak benturan ketika dihadapkan pada urusan moral. Dalam tulisan ini, penulis berusaha menawarkan kembali sebuah konsep pendidikan yang telah lama digagas oleh pejuang dan pendiri bangsa ini, yakni Pesantren.
Secara historis, Pesantren merupakan produk asli (indigenous) Nusantara, embrionya muncul sejak zaman Walisanga dalam menyebar-luaskan agama Islam. Dalam perkembangannya, pesantren mengalami dinamika-dinamika kelembagaan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki satu ciri khas tersendiri, yakni meniscayakan seorang penuntut ilmu (santri) tinggal 24 jam bersama gurunya (kiai). Dari situlah kemudian seorang kiai dapat mentransferkan segala macam keilmuan yang dimiliki kepada santri-santrinya. Transfer keilmuan tersebut tidak hanya pada tataran teori belaka, tapi juga uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) dari seorang kiai dalam kesehariannya. Sehingga dari suri tauladan itu, santri secara langsung dapat melihat keseharian kiai, dimulai dari shalat jama’ahnya, dzikirnya, mujahadahnya, cara bersikapnya, hingga pada cara bertutur kata. Kemudian dari modal pengetahuan langsung semacam itu, dapat meresap ke dalam hati santri, untuk kemudian diamalkan sesuai dengan apa yang dipelajarinya. Teori keagamaan yang ditanamkan, tidak hanya mentah dan ngambang, tapi sekaligus terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dengan adanya pengawasan yang berkelanjutan dari kiai, dan teguran terhadap tindakan santri yang mulai melenceng dari tuntunan syar’i. Intensitas interaksi dan komunikasi dengan guru inilah yang menimalisir kenalakan remaja seusianya, belum pernah ada sejarahnya tawuran pelajar antar pesantren, ataupun pesantren dijadikan tempat distribusi narkoba, terlebih pembuatan video tidak pantas di lingkungan pesantren.
Selain pengawasan total, dalam dunia pendidikan pesantren juga ditanamkan nilai-nilai kemandirian, dimana seorang santri hidup terpisah dengan orang tuanya sejak dini. Kemudian dari kondisi semacam ini, santri dituntut untuk bisa menyelesaikan segala macam problem kehidupan yang dialami, baik itu konflik ketidak-selarasan-paham dengan sesama santri, ataupun juga problem personal, seperti masalah kesehatan, hingga ketersediaan bekal selama hidup di pesantren. Dari kemandirian ini, kemudian muncul kesadaran akan tanggung jawab, baik tanggung jawabnya sebagai individu, juga tanggung jawabnya sebagai masyarakat sosial. Sehingga bekal inilah yang diharapkan mampu mempersiapkan santri menjadi generasi yang tidak manja, tidak hanya mudah mengeluh dan menengadah, melainkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa bekal ilmu keagamaan saja tidaklah cukup, tantangan kemajuan pendidikan yang mengedepankan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) semakin kompetitif. Lembaga pendidikan yang tidak bisa menyesuaikan, pasti akan tertinggal. Maka secara bertahap, pembangunan pesantren di Indonesia kini juga diimbangi dengan hadirnya sekolah-sekolah formal, baik setingkat SD, SMP, SMA, bahkan Perguruan Tinggi. Munculnya elemen pendidikan formal ini memperkaya khazanah pesantren, dan secara berangsur-angsur berusaha mewujudkan cita-cita bersama yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Pencerdasan intelektual di satu sisi, pencerdasan mental dan moral di sisi yang lain secara bersamaan. Pendek katanya, Pesantren berusaha menggabungkan antara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) serta IMTAQ (ke-Iman-an dan ke-Taqwa-an). IPTEK dan IMTAQ inilah yang akan mengawal kehidupan alumni pesantren kedepannya, menjadikan mereka jujur dalam berkata, cerdas dalam bersikap, santun dalam berbuat, serta tulus dalam beramal. Sehingga nanti ketika ia sudah terjun di realita sosial yang lebih nyata, ia tidak akan korup ketika menjadi pejabat, tidak akan menipu ketika berdagang, gigih dalam berusaha dan bekerja, serta dermawan ketika hartanya berkecukupan.
Muara akhir dari pendidikan pesantren di atas adalah untuk kejayaan Islam, dan kemajuan Indonesia sebagai suatu Negara. Kesadaran bernegara juga ditanamkan erat di pesantren, yang dilandasi oleh Hadis Rasul: “Cinta tanah air adalah bagian dari Iman”. Sehingga dalam diri santri terdapat dua kepribadian yang melekat, kepribadian sebagai Muslim sejati, dan kepribadian sebagai WNI.
Jika kita sedikit menilik ke belakang, peran pesantren dalam perjuangan kemerdekaan dan mengisi pembangunan tidak bisa kita sampingkan. Resolusi Jihad, yaitu fatwa tentang wajibnya membela Negara Indonesia bagi setiap muslim, dari KH. Hasyim Asy’arie, mampu menghipnotis ribuan santri dan pemuda lain di Surabaya untuk mengusir penjajah, berujung pada pertumpahan darah, dan diperingati setiap tahunnya pada 10 November sebagai hari pahlawan. Juga dibentuknya barisan militer dari kalangan santri, Hizbullah, yang mengambil peran dalam penjagaan keamanan Negara sebelum dibentuknya BKR (Badan Keamanan Rakyat). Prestasi yang diraih santri pun tidak kalah mencengangkan, bukti konkretnya, satu dari lima presiden di Negeri ini terlahir dari institusi Pesantren, KH. Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur. Disamping masih banyak tokoh-tokoh nasional lainnya seperti Ahmad Dahlan, Wahab Chasbullah, Wahid Hasyim, Quraisy Syihab, Mahfud MD, yang juga semuanya berasal dari lembaga pendidikan Islam ala Nusantara, Pesantren.
Inilah sedikit kisah tentang mutiara yang terpendam, pesantren. Bercahaya, tapi banyak dari kita memandangnya sebelah mata, bahkan terkadang juga melupakan semua peran yang pernah ditorehkannya. Di tengah-tengah kerusakan moral siswa dan pelajar, serta bejatnya nurani kaum cendekiawan yang terpelajar, pesantren hadir sebagai pelepas dahaga pendidikan. Pendidikan yang mengutamakan kesantunan, kecerdasan pikir yang didasari olah dzikir, serta penyeimbangan antara intelektual dan kematangan emosional. Semoga tulisan ini menambah referensi tempat pendidikan yang ideal untuk generasi anda berikutnya, anak-cucu anda, calon pemimpin bangsa. Amin.

                                                                                                            Bintuhan, 06 – 11 - 2013

*Artikel ini dimuat di Radar Kaur edisi 09 November 2013.

0 komentar:

Posting Komentar