Khilafah Islamiyyah: Potret Kegelisahan Anak Bangsa*




Khilafah Islamiyyah, bagi sebagian kalangan—terutama bagi anak sekolah dan mahasiswa yang baru beranjak gedhe—istilah ini cukup menarik untuk diperbincangkan. Pasalnya, khilafah ini mengajak kita berimajinasi dan bermimpi tentang kondisi sebuah negara yang suci, yang jauh dari kata maksiat, dan tentu akan mengantarkan masyarakatnya ke jalan surga, jalan yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga menjadi wajar, ketika motivasinya adalah kebahagiaan pada kehidupan kedua, tentu mayoritas dari kita akan terpanggil hatinya.

Para remaja yang di kampungnya memiliki “keyakinan warisan”, awal mulanya mereka diajak untuk mempertanyakan kembali apa yang dilakukan oleh bapak, ibu, pakdhe, paklek, dan juga mereka sendiri selama ini. Sudah sesuai syariat kah, ketika bapaknya mengikuti rutinan yasin-tahlil setiap malam jumatnya ? Kira-kira ibunya bisa masuk surga atau tidak, dengan memasakkan makanan pada bulan maulud untuk suguhan di musholla samping rumahnya ? Apakah doa yang dikirimkan kepada mendiang kakeknya di kuburan setiap idul fitri bisa tersampaikan atau tidak ? Pertanyaan-pertanyaan serupa terus saja diterima oleh mereka, sehingga membuat mereka ragu akan keyakinan warisan yang selama ini mereka pegang. Ketika mereka sudah memasuki fase ragu, kemudian disisipkanlah doktrin ajaran yang sakral, al-Qur’an dan Hadis, legislator utama agama Islam, dan menghakimi ajaran bapak-ibunya di kampung adalah amalan yang tertolak, bahkan digolongkan perkara munkar dan sesat.

Setelah doktrin itu tertancap kuat di dada mereka, ditambahkanlah gambaran fakta tentang “rusaknya moralitas” sebagai motivasi agar mereka menjadi pelopor generasi suci yang akan menegakkan kalam ilahi di muka bumi ini. Perjudian, pelacuran, pergaulan bebas, narkoba, miras, adalah isu-isu tepat untuk digaungkan dan ditiupkan ke telinga mereka. Supaya mereka sadar, bahwa dunia ini semakin mendekati kehancurannya, dan hanya lewat tangan mereka lah sebagai generasi emas yang mampu melenyapkan kemungkaran-kemungkaran tersebut. Belum cukup sampai di sini, para remaja lugu itu kembali harus disesakkan dadanya dengan informasi bercampur provokasi tentang bejatnya para pejabat di negeri ini. Mulai dari korupsi, jejaring mafia anggaran, kongkalikong politik, hingga skandal-skandal seks para petinggi birokrasi agar menguatkan opini bahwa bangsa ini telah rusak, dan Indonesia sudah tidak bisa diperbaiki lagi.

Saat gemuruh di dada mereka terus berkobar untuk meneriakkan semangat perbaikan nan Islami yang mereka cita-citakan, diciptakanlah “common enemy” dalam alam pikiran mereka lewat mempertontonkan video-video penindasan dan penistaan yang teralamatkan kepada muslim di Palestina, Suriah, Burma, dan perampasan hak hidup kaum muslimin di tempat-tempat lain, sehingga bisa membangkitkan semangat juang mereka. Sebagai bumbu pelengkap, dibubuhilah iming-iming bidadari yang menanti para syuhada di pintu gerbang surga. Pernikahan Syuhada pun dilangsungkan, demi menumbuh-kembangkan semangat jihad di hati para remaja yang sedang haus siraman spiritual itu.

Dari rangkaian indoktrinasi tersebut, hanya tersisa satu jalan keluar “angkat senjata, dan maju berperang”. Allahu Akbar adalah kalimat sakti yang mampu membakar hati yang sedang dikuasai oleh semangat menggelora. Khilafah Islamiyyah adalah satu-satunya solusi bagi mereka yang merasa tidak bisa lagi mengurai berbagai konflik yang terus berkepanjangan. Slogan-slogan yang disandarkan kepada kitab suci al-Qur’an terus menerus digaung-gemakan, “Wa man lam yahkum bima anzala Allah fa ulaa’ika hum al-kaafiruun”, Barang siapa yang tidak berhukum menggunakan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka ia termasuk golongan orang-orang kafir.

Secara berduyun-duyun para remaja itu mengambil jalannya, jalan yang mereka yakini sebagai kebenaran mutlak. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anak pengusaha yang ayahnya sibuk dengan dunia bisnisnya, anak pedagang pasar yang membiarkan buah hatinya tumbuh dengan kedewasaannya, anak petani yang memasrahkan sepenuhnya kesalehan anaknya kepada Yang Maha Kuasa, hingga anak para kyai kampung yang merasa menemukan dunia baru yang lebih menantang dibandingkan dunia abahnya yang cenderung tenang dan tentram. Mereka memasuki satu tahap baru dalam kehidupannya, sebagian menyebutnya hijrah, dalam rangka kembali kepada ajaran yang murni seperti pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam proses kaderisasinya, mereka menempuh beragam cara dan media, dimulai dari media dakwah di jejaring sosial, media cetak, website, penerbitan buku-buku, halaqah di masjid-masjid, organisasi siswa di sekolah-sekolah, seminar, dan juga kaderisasi di berbagai perguruan tinggi. Diantara sekian banyak jalan, sekolah dan kampus merupakan dua pintu gerbang ideal untuk memikat hati para calon syuhada-syuhada muda.

Masa belajar di sekolah dan perguruan tinggi adalah periode tepat dalam pembentukan jati diri seseorang, untuk menanamkan mana ideologi yang benar, dan mana yang bersebrangan. Gerakan jihad mereka adalah menyebarkan paham kepada adik tingkat mereka. Para senior siap siaga 24 jam mendampingi adik tingkatnya, baik dari sisi waktu, berbagi pengalaman, hingga penanaman doktrin, demi bertambahnya calon-calon tentara Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah fakta yang secara perlahan terus berjalan, dan lambat laun mengambil porsi besar dalam pewarnaan corak Islam di Indonesia. Khilafah Islamiyyah yang dulunya dianggap sebagai utopis dan mimpi belaka, bukan tidak mungkin akan menggeser Islam khas Nusantara yang telah bertahan selama berabad-abad lamanya di bumi Indonesia. Hingga pada gilirannya, karakter dasar warga Indonesia yang terkenal santun dan ramah, akan berubah menjadi bengis dan pemarah.

Sekarang tidak penting memperdebatkan aliran Islam mana yang paling benar, karena pembahasan itu akan bermuara pada saling membenarkan golongannya. Ini bukan saatnya lagi membahas tentang siapa yang paling berhak masuk surga, tapi ini tentang Indonesia. Tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang anak mudanya sedang disusupi paham brutalisme untuk mencapai nilai-nilai agama yang mereka impikan. Perpecahan dan perang saudara di negara-negara timur tengah adalah gambaran Indonesia ke depan, apabila permasalahan ini tidak kunjung kita benahi dari sekarang. Wa Allah a’lam bi al-showab.
           
                                                                                                Kaur, 30 Maret 2015




[*] Artikel dimuat Radar Kaur Edisi 2 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar