INDONESIA-KU KINI*

         Oleh: Abdul Qodir Nasich

            Pagelaran drama di negeri ini tak kunjung usai. Peran demi peran para lelakon kekuasaan senantiasa dimainkan dengan cantik, menarik, dan cukup menegangkan. Setelah pilpres yang menelan biaya triliyunan, rakyat kembali harus bertepuk tangan atas naik-turunnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Naik turunnya harga BBM tak ubahnya permainan layang-layang, kadang ditarik dan kadang juga harus diulur. Permainan layang-layang BBM ini diikuti oleh irama tarian kenaikan harga gas elpiji, tarif dasar listrik, dan beberapa harga kebutuhan pokok lain. Namun sayangnya, harga-harga lain itu tak mengikuti tarik-ulur harga BBM, hanya bisa naik tapi tak kuasa turun.

            “Sebagai penonton, rakyat hanya bisa tertawa riang sambil bercerita kepada anaknya, bahwa esok pasti masih ada nasi yang disisakan oleh Tuhan untuk kita makan.”

            Agar tak bosan dengan adegan kenaikan BBM, rakyat dihibur oleh nuansa konflik antara Polri dan KPK. Sebuah pertunjukan yang menguras emosi. Dua lembaga yang berbaju hukum suci ini, mempertontonkan sebuah sandiwara yang memperebutkan klaim kebenaran. Para pejabat anti-korupsi di KPK ditersangkakan dan ditetapkan sebagai perampok kekayaan Negara, sedangkan dalam kurun waktu tiga bulan institusi Polri dibiarkan tanpa nahkoda. Sebuah keadaan yang mengundang gelak tawa di hati rakyatnya.

            Pertunjukan belum lah selesai sampai disini. Rupiah yang kita banggakan terus menerus melemah nilainya. Angka 13.000 hanya setara dengan angka satu. Rupiah dicetak dengan full warna, tapi sayangnya, nilainya tak lebih berharga dari kertas hitam-putih terbitan Amerika. Kesuburan dan kekayaan alam negeri ini tak mampu menjadikan negeri ini lebih makmur dari negeri-negeri paling gersang di muka bumi.

            Sungguh ironis, banyak orang berkata: “surganya dunia adalah Indonesia”, tapi keadaan rakyatnya jauh dari gambaran “penduduk surga”. Bila keadaan negeri ini sudah sedemikian rumitnya, lantas apa yang bisa kita perbuat? Pasrah ? Putus Asa ? atau malah memilih jalan sebagai pemberontak ?

            Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis teringat sebuah kisah.

Pada Agustus 1945, Hiroshima dan Nagasaki dibumi-hanguskan oleh tentara sekutu. Sekitar 220.000 jiwa rakyat Jepang kehilangan hak hidupnya. Jepang lumpuh, fasilitas-fasilitas umum rata dengan tanah, beberapa industri besar mati total, pusat-pusat pemerintahan tidak bisa lagi difungsikan. Pada saat seperti itu, ketika seorang pemimpin sudah selayaknya panik, Kaisar Hirohito tetap berfikir jernih, dan melontarkan satu pertanyaan:

“Berapa jumlah guru yang masih hidup?”

Sebuah pertanyaan yang didasarkan pada kematangan berfikir seorang pimpinan negara. Bukan nyawa jenderal yang ditanya, bukan pula pengusaha kaya, melainkan nyawa rakyat jelata yang berprofesi sederhana, namun bermakna, yaitu Guru. Pasca kehancuran tersebut, Jepang membangun kembali sistem pendidikan. Tidak hanya memperkuat kebijakan pendidikan dalam negeri, tapi juga mengirimkan pelajar-pelajarnya ke Eropa dan Amerika. Sekembalinya dari study, mereka dituntut melakukan inovasi dari teori yang telah mereka dapat, dan tentu, harus memberikan kontribusi nyata kepada negaranya. Hasilnya mencengangkan, dalam kurun waktu tiga puluh tahun, Jepang pulih, dan mampu bersaing menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia.

Jika Jepang yang pernah terpuruk dan hancur, kemudian lewat pendidikan bisa bangkit dan tumbuh sebagai kekuatan yang diperhitungkan di dunia, kenapa tidak dengan Indonesia ? Kisah ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa hanya dengan pendidikan lah sebuah bangsa bisa mencapai puncak kejayaannya.

Kita tidak bisa berspekulasi, kapan tepatnya bangsa ini akan menjadi kekuatan besar. Namun setidaknya kita harus menyisakan secercah harapan di hati kita, lewat memberikan pendidikan terbaik untuk penerus generasi kita, Negeri ini akan bisa lebih baik dari hari ini.

Dan Kaur telah memulainya.

Wallahu a’lam bis-showab.


*Artikel dimuat Radar Kaur Edisi 8 April 2015

1 komentar:

  1. Super sekali tulisannya. Pantas saja layak muat, permainan kata dan penggambarannya melaluu kiasan itu keren lho

    BalasHapus