Bahasa Agama
Dalam
buku Bahasa Agama karya Komaruddin Hidayat, telah dibahas tentang definisi,
dampak, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan bahasa dan agama serta hubungan
keduanya. Namun disini, penyusun mencoba meringkasnya agar lebih mudah dipahami
dan pembahasan mengenai bahasa agama lebih difokuskan dalam pembahasan bahasa
agama dalam Islam, dalam hal ini adalah wahyu Allah (Al-Qur’an).
Bahasa adalah suatu media untuk menyatakan kehadiran sebuah realita dan
persona. Sedangkan definisi bahasa agama, terdapat dua pengertian. Pertama,
bahasa agama ialah kalam Ilahi yang kemudian terabadikan dalam kitab suci
(Al-Qur’an). Pengertian ini dilihat dari sudut pandang theo-oriented. Kedua,
bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau
sebuah kelompok sosial—atau dalam istilah Agama Islam mengarah kepada Hadits
(fi’li, qauli, taqriri), Atsar as-Shahabah, Tabi’in, tabi’ al-Tabi’in ataupun
para Ulama setelahnya—meskipun tidak selalu merujuk kepada kitab suci.
Pengertian yang kedua ini, didasarkan terhadap sudut pandang antropo-oriented.
Dan dalam pembahasan kali ini lebih dikhususkan kepada definisi yang pertama,
yakni bahasa agama adalah kitab suci.
Setiap kitab suci, begitu telah terbukukan maka secara fisik-tekstual ia telah
hadir dan duduk sejajar dengan buku-buku lainnya.ia telah menjadi fakta
historis. Yang kemudian membedakan adalah sikap pembaca dan respons pembacanya,
begitupun dalam memahami gaya bahasa agama maka sikap pembaca sangat berperan.
Secara sederhana, terdapat dua kategori bahasa agama (kitab suci), yaitu
preskriptif dan deskriptif. Yang pertama preskriptif, struktur makna yang
dikandung selalu bersifat imperatif dan persuasif, yaitu menghendaki pembaca
mengikuti pesan pengarang sebagaimana terformulasikan dalam teks. Dalam ungkapan-ungkapan
preskriptif posisi pangarang menjadi pusat putaran, sementara pembaca diminta
mengikuti ajakan dan sarannya. Berbeda dengan deskriptif, jika gaya preskriptif
pengarang cenderung memerintah, maka gaya bahasa deskriptif lebih demokratis
sifatnya. Disitu terbuka lebar bagi pembaca untuk ikut mendiskusikan persoalan.
Lalu berkenaan dengan isi yang terkandung dalam Al-Qur’an, maka sebagian besar
gaya bahasa Al-Qur’an bersifat preskriptif. Kemudian timbul pertanyaan, apakah
benar Allah itu adalah Dzat yang diktator ?. Tidak benar jika Allah kita klaim
sebagai Dzat yang diktator, yang memaksakan kehendaknya dalam Al-Qur’an untuk
diikuti. Karena pada hakikatnya kita tidak akan mengetahui baik-buruk tanpa
petunjuk dari Allah swt. Maka Allah kita misalkan sebagai guru yang bijak,
beliau akan memilih ungkapan yang tepat ketika berbicara, sesuai ruang, waktu,
dan objek yang dituju. Oleh karenanya, dalam Al-Qur’an pesan dan perintah Allah
kadangkala dituangkan dalam bentuk narasi deskriptif serta ungkapan-ungkapan
metaforis. Di kalangan Ulama Mutakalllimun (teolog Islam) bahkan terdapat
pandangan yang cukup kuat bahwa salah satu kekuatan Al-Qur’an justru terletak
pada gaya bahasanya, sehingga para sastrawan handal pada saat itu harus
mengakui kekalahan mereka ketika dihadapkan pada tantangan gaya bahasa
Al-Qur’an. Gaya serta keindahan bahasa Al-Qur’an tidak bisa dikategorikan
sebagai karangan prosa atau puisi, karena bahasa Al-Qur’an sesungguhnya lebih
menekankan makna yang sanggup menggugah kesadaran batin dan akal budi ketimbang
sekedar ungkapan kata yang berbunga-bunga. Disini perlu diberi penekanan, gaya
bahasa hanyalah salah satu aspek saja, sedangkan aspek yang paling fundamental
dari Al-Qur’an adalah pada kejelasan dan ketegasan maknanya, terutama menyangkut
Doktrin Tauhid dan Hukum.
Dari penjelasan singkat diatas, satu hal yang bisa dikemukakan adalah bahwa
dalam memikirkan, membahsasakan dan mengekspresikan pikiran tentang Tuhan dan
objek yang abstrak, manusia mesti menggunakan ungkapan yang familiar dengan
dunia Indrawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-simbol sekuler, hanya kemudian
diberi muatan yang melewati realitas Indrawi. Dengan kata lain, bahasa agama
secara historis-antropologis adalah bahasa manusia, tetapi secara teologis di
dalamnya memuat kalam Ilahi yang bersifat transhistoris atau metahistoris.
Dampaknya, bahasa metafor dalam kitab suci secara potensial bisa menimbulkan
dua implikasi, positif dan negatif. Segi positifnya terletak pada kemampuan
bahasa metaforis untuk mengakomodasi penafsiran dan pemahaman baru, sehingga
kitab suci maupun karya sastra akaan selalu hadir setiap saat tanpa kehilangan
daya pikat dan panggilan hermeneutikanya. Bahasa metafor selalu membuka pintu
bagi imajinasi dan kemungkinan-kemungkinan baru (posibilitas), bukannya sebuah
representasi dari realitas yang telah mapan (faktualitas).
0 komentar:
Posting Komentar