Islam dan Arab




Islam dan Arab merupakan dua entitas yang saling tarik-menarik, baik dalam ranah teks, maupun dalam beberapa konteks. Hal ini sangatlah wajar, dikarenakan Islam turun di wilayah Arab dan Islam juga "meminjam" Bahasa Arab sebagai media penyampaian pesan Tuhan (al-Qur'an). Tak hanya itu, Rasulullah sebagai penyampai risalah pun adalah orang Arab yang sudah barang tentu ada unsur-unsur budaya Arab yang melekat pada diri beliau, baik itu dari bahasa, pakaian, cara berinteraksi, hingga menu "daharan" (makanan) beliau. Ditambah lagi Ka'bah sebagai kiblat seluruh umat Islam terletak di Mekkah (Arab Saudi), sehingga semakin menguatkan interaksi antara dunia Islam dan Arab.

Dengan kondisi semacam ini, sebagian kalangan memunculkan stigma bahwa "Islam Harus Arab", dan "Semua yang Arab pastilah Islam". Stigma ini jika dikembangkan akan memunculkan anggapan bahwa seorang "preman" yang berjubah dan bersorban akan dinilai lebih agamis dibanding seorang "alim" yang memakai celana jeans. Lebih spesifik lagi, belakangan muncul sebuah maqalah: "Kalau kita enggak mau ikuti Arab Saudi, ya kalau shalat enggak usah hadap kiblat". Dari anggapan ini, terjadi peleburan antara Arab Saudi sebagai sebuah negara beserta seluruh budaya dan kebijakannya, dengan Islam sebagai Agama.

Berangkat dari kerancuan-kerancuan berpikir semacam ini, maka perlu kiranya diketengahkan pemisahan, pemilahan dan pemilihan antara mana budaya Arab yang disaringkan dari hasil interaksinya dengan Islam selama berabad-abad, dan mana yang tergolong murni bermuatan nilai Islam.

Dalam rangka upaya tersebut perlu adanya wawasan mendalam tentang kondisi Arab pra-Islam, serta bagaimana ajaran-ajaran Islam melakukan upaya dekonstruksi terhadap budaya Arab yang dianggap jahiliyyah, dan merekonstruksi tatanan masyarakat yang sesuai dengan tuntunan al-Qur'an.
===
Upaya pembenahan tersebut tentu tidaklah membumi-hanguskan semua kultur Arab, ada beberapa tradisi Arab pra-Islam yang masih berlaku, dan jika wilayahnya adalah tradisi, maka kita tidaklah perlu menjiplak seutuhnya.
===
Sebagai contoh kecil, bahasa misalnya. Memanglah benar Bahasa Arab adalah Bahasa Al-Qur'an, pun khazanah keilmuan Islam yang otentik semuanya tertulis menggunakan Bahasa Arab, sehingga wajib hukumnya bagi setiap orang yang ingin mendalami ajaran Islam untuk mengetahui dan menguasai Bahasa Arab. Karena jika tidak, dia tidak akan merasakan "Dzauq Al-Lughah" (citarasa bahasa), yang akibatnya akan missing pemahamannya ketika mengkaji teks-teks Arab. Namun hal ini tidaklah berarti, kita sebagai orang Indonesia yang kebetulan Muslim, sunnah hukumnya memakai Bahasa Arab sebagai bahasa percakapan sehari-hari dengan tetangga dan sanak famili kita. 
===
Karena Bahasa Arab yang dipraktikkan Rasul bukanlah sunnah yang harus diterapkan oleh umatnya dalam ruang geografis yang berbeda. Maka kalimat, "Aina Tadzhab?" tidak lebih baik dari "kuwe arep nengdi?". Kita memiliki dimensi ruang dan waktu yang berbeda dengan Rasul, kita punya bahasa sendiri, Bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah. Akan jauh lebih mulia jika orang Indonesia memakai Bahasa Indonesia sebagai bahasa kesehariannya, terlebih jika mau melestarikan bahasa daerahnya masing-masing yang sudah mulai luntur akibat ke-alay-an penggunanya.
===
Jika saja memang pengucapan ana, nahnu, anta, antum, lebih "nyunnah" (mendapatkan pahala bagi yang mengerjakan) daripada aku, awakdewe, kuwe, sampean, niscaya orang Arab potensi masuk surganya jauh lebih besar dibanding masyarakat yang sulit melafalkan huruf "ain" ini.
===
Dalam kasus lain, contoh hadis tentang pemanjangan jenggot dan pemendekan kumis. Hadis tersebut memiliki latar-belakang kemunculan kenapa hadis tersebut ada (sabab al-wurud). Artinya, hadis tersebut tidak muncul tiba-tiba tanpa adanya sebab-sebab tertentu. Hadis tersebut muncul ketika Rasulullah mengetahui kondisi umat Majusi yang memanjangkan kumisnya, dan memangkas jenggotnya. Kemudian Rasulullah menyuruh para sahabatnya untuk melakukan kebalikannya, memangkas kumis dan memanjangkan jenggot. Ada juga riwayat yang menyebutkan latar belakangnya adalah karena datang seorang dari negeri ajam (selain Arab) kepada Rasul dalam keadaan tak berjenggot dan berkumis tebal, maka Rasul memerintahkan kebalikannya.
===
Dari latar belakang ini kemudian bisa kita telaah, bahwa dalam hadis tersebut ada tujuan "politik identitas", atau mengedepankan simbol fisik sebagai pembeda antara muslim dan non-muslim. Pada saat itu hal semacam ini sangatlah diperlukan, mengingat kondisi ketegangan antara muslim dan non-muslim seringkali terjadi, sehingga perlu untuk mengetahui mana kawan dan mana lawan. Dan yang perlu digaris-bawahi, jenggot Rasulullah itu jenggot yang mengesankan keagungan dan sangat menawan, sehingga menambah aura kewibawaan pada diri Rasul.
===
Menjadi menarik kemudian, jika hadis ini dianggap tuntunan syar'i bagi seluruh kaum muslimin di seluruh belahan dunia. Sehingga adanya dogma yang tersebar, memelihara jenggot sunnah hukumnya, mendapat pahala bagi yang memelihara, dan mendapat predikat "inkar al-sunnah" bagi yang memotongnya. Kita menyadari, kondisi genetis tiap manusia berbeda-beda, pun demikian dengan kondisi jenggot dan kumisnya.
===
Masyarakat Indonesia pada umumnya, tidak memiliki jenggot sebagaimana bangsa Arab atau India. Ada yang jenggotnya tumbuh beberapa helai, bahkan ada yang tidak tumbuh sama sekali. Dalam kondisi seperti ini, kembali pertanyaan dihadapkan, apakah bagi muslim yang tidak memiliki jenggot secara alami dianggap tidak Islam secara kaffah? Ataukah bagi yang jenggotnya tumbuh beberapa helai harus tetap dipanjangkan meskipun sedikit bertentangan dengan estetika? Ataukah sebagai muslim yang taat dipaksa untuk memakai obat penumbuh jenggot demi mewujudkan "sunnah Rasul"?
===
Maka hadis ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kemunculannya, yakni pembeda dengan kaum musyrikin. Sehingga nilai yang bisa dipetik adalah semangat membedakan diri dengan kaum musyrikin. Jika di Indonesia, kaum musyrikin banyak memberikan beasiswa, maka umat Islam Indonesia dituntut untuk memberikan beasiswa+biaya nikah, agar berbeda dengan kebaikan yang diberikan non-muslim.
===
Adapun masalah estetika, kita sendiri yang bisa menimbangnya. Jika 9 helai jenggot dirasa kurang pas untuk dipanjangkan, maka alangkah baiknya sekalian dibersihkan. Bukankah Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan?

=========
Dua contoh kasus tadi, semoga bisa menjadi perangsang agar kita tidak gebyah-uyah terhadap dogma yang kita anggap paling Islam. Perlu adanya pemilahan mana wilayah ajaran, dan mana wilayah tradisi.
===
Islam dan Arab memang sangat identik, tapi keduanya bukanlah satu kesatuan yang sama. Tetap ada beberapa point pemisah antara keduanya.
===
Sehingga ungkapan harus mencari kiblat selain Ka'bah (Mekkah) jika tidak tunduk pada Arab Saudi, itu adalah sama halnya dengan: "Kalau suka roti, berarti kamu pro-Barat".
=========
Semoga Bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar