Lahir di Cipasung, 31 Januari 1934, putra dari KH. Ruhiat,
Pendiri PonPes Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Di masa kecilnya, beliau
mengenyam pendidikan di HIS (Hollandsch-Inlandsche School)
selama tiga tahun. Dari ayahnya, beliau belajar banyak keilmuan, dan sejak usia
15 tahun beliau sudah menggantikan ayahnya mengajar di Pesantren. Beliau
memulai perjuangan di bidang organisasi sejak tahun 1954, saat itu beliau
terpilih sebagai Ketua PC IPNU Tasikmalaya pertama, dan tahun 1960 beliau
diamanahi jabatan sebagai wakil ketua PW IPNU Jawa Barat, dan pada saat
bersamaan beliau menjadi wakil Rais Syuryah PCNU Tasikmalaya. Pasca wafatnya
KH. Ahmad Shiddiq, NU menggelar Konferensi Besar pada 1992 di Bandar Lampung,
KH. Ilyas terpilih sebagai pejabat pelaksana Rais Am. Di tahun yang sama,
beliau menjadi anggota MPR RI mewakili Jawa Barat, setelah sebelumnya menolak
dicalonkan dari partai politik. Kemudian pada Muktamar NU ke-29, yang
diselenggarakan di Pesantrennya, Cipasung, beliau terpilih lagi sebagai Rais Am
PBNU mendampingi KH. Abdurrahman Wahid sebagai ketua Tanfidziyyah PBNU. Beliau
berpulang ke rahmatullah pada 18 Desember 2007.
share
Konsep Baik dan Buruk, Serta Peran Akal dalam Hukum Islam
Oleh : Abdul Qodir Nasich
Akal
adalah pemberian Tuhan kepada manusia untuk membedakan manusia dengan Makhluk
lain ciptaan-Nya. Akal juga berpengaruh besar dalam penetapan suatu hukum Islam
yang tidak terdapat dalilnya dalam Nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Namun dalam
kadar penggunaannya, ulama banyak yang berbeda pendapat, diantaranya mengenai
peran akal dalam menentukan baik dan buruk yang hubungannya dengan Wahyu.
Mengenai
hal ini, secara garis besar perbedaaan ulama dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian:
Pertama,
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk itu adalah dua sifat
esensial yang ada pada sebagian hal, dan sebagian hal lain berada antara
manfaat dan madharat serta diantara baik dan buruk. Dalam hal ini salah seorang
tokoh mereka, Al-Juba’i, mengatakan : “Setiap perbuatan ma’siat yang jaiz bagi
Allah untuk memerintahkannya, maka nilai keburukan perbuatan itu karena adanya
larangan (qabih lin-nahyi). Dan setiap perbuatan ma’siat yang wajib bagi Allah
untuk tidak memperbolehkannya,maka nilai keburukan itu terletak pada esensinya
(qabih linafsihi), seperti halnya tidak mengenal Allah SWT. atau bahkan
menyekutukannya. Demikian pula setiap perbuatan yang jaiz bagi Allah untuk
memerintahkannya, maka nilai kebaikan perbuatan itu karena adanya perintah
(hasan lil-amri bihi). Dan setiap perbuatan yang wajib bagi Allah untuk
memerintahkannya, maka nilai kebaikan perbuatan itu karena esensinya (hasan
li-nafsih).
Golongan Mu’tazilah juga sering disebut dengn Ahl Ar-Ra’y, karena selalu
melandaskan dasar pengambilan hukum dengan nadzhari (rasio). Mu’tazilah juga
berpendapat, dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat
mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum
wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan
mengerjakan yang baik.
Kedua, Pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut
pula oleh Ulama Hanafiah mereka ini mengatakan bahwa sesuatu itu secara
esensial (menurut dzatnya) ada yang baik dan ada yang buruk. Dan sesungguhnya
Allah tidak akan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya. Dengan demikian,
mereka ini membagi sesuatu kepada :
1. Hasan li dzatihi (baik menurut dzatnya)
2. Qabih li dzatihi (buruk menurut dzatnya)
3. Sesuatu yang ada diantara keduanya, dan ini tergantung pada perintah dan
larangan Allah swt.
Menurut Al-maturidiyah, penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada
sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah
mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui akal
tidak selalu mampu membedakan antara baik dan buruk, namun terkadang pula mampu
mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Ketiga, Pendapat golongan Asy’ariyah, yang dipegangi oleh jumhur ulama Ushul,
yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (secara
esensial),tidak ada yang baik maupun yang buruk. Semuanya mutlak tergantung dan
ditentukan oleh kehendak Allah. Dalam aturan syara’. Tidak ada sesuatupun yang
membatasi kehendak-Nya. Dia adalah pencipta sesuatu dan Dia pula yang
menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu, segala yang Dia perintahkan itulah
yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang buruk. Tiada taklif
(pembebanan) karena keputusan akal, tetapi taklif hanya berdasar pada perintah
dan larangan Syari’ (Allah).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa
al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah, dan akal tidak dapat memberi beban hukum
(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan li dzatihi serta qabih
li dzatihi.
Diposting oleh Pesantren Tanpa Atap 1
share
K.H. Chamim Tohari Djazuli (Gus Miek)
Pendiri
Jam’iyyah Sema’an “Jantiko Mantab” dan Majelis Dzikir “Dzikrul Ghofilin”
Lahir
17 Agustus 1940, putra K.H. Jazuli Utsman ini terkenal sebagai Kiai “Nyentrik”.
Masa kecilnya belajar di “SR” (Sekolah Rakyat) dan ngaji di kampungnya,
meskipun sering “bolos”, tapi sudah mampu menghafal Alfiyyah. Kemudian beliau 16
hari “nyantri” kepada K.H Mahrus Ali Lirboyo, sepulangnya menggantikan ayahnya
mengajar kitab Tahrīr, Fath al-Mu’īn, Jam’u al-Jawāmi’, ‘Uqūd al-Jumān,
Shahih al-Bukhārī, Shahīh al-Muslim, Tafsīr al-Jalālain, dan Ihyā’ ‘Ulūm
al-Dīn. Beliau juga seorang penghafal al-Qur’an, berdakwah melalui jalan
yang tak lazim. Beliau sering mengunjungi diskotik, club malam, dan tongkrongan
pinggiran jalan. Hingga akhirnya, bersama sahabat karibnya, K.H. Ahmad Shiddiq
Jember membuat naskah Dzikrul Ghofilin, dan kemudian membentuk majelis dzikir “Dzikrul Ghofilin”
pada 1971, dan kemudian memperluas wilayah dakwahnya dengan merintis jam’iyyah
sema’an al-Qur’an “Jantiko Mantab” pada 1986, yang kemudian kedua wadah riyadhah
tersebut memiliki jama’ah dalam skala nasional. Beliau menghembuskan nafas
terakhirnya pada 5 Juni 1993 di Tambak, Kediri.
Abdul Qodir Nasich
Abdul Qodir Nasich
Diposting oleh Pesantren Tanpa Atap 0
share
K.H. Bisri Syansuri
Pendiri
Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’ārif Denanyar Jombang
Lahir
di desa Tayu, Pati, pada 18 September 1886. Beliau pernah “nyantri” kepada KH.
Sholeh Darat, KH. Abdullah Salam Kajen, KH. Cholil Bangkalan, dan KH. Hasyim
Asy’arie Jombang. Kemudian ia memperdalam ilmu di Mekkah, diantara gurunya:
Syekh Muhammad Baqir, Syekh Ahmad Khatib al-Fadani, dan Kiai Mahfudz
at-Tirmasi. Ketika berada di Mekkah, beliau menikahi adik perempuan KH. Abdul
Wahab Chasbullah, Nur Chodijah. Sepulangnya, selama dua tahun dia menetap di
pesantren mertuanya. Pada 1917 ia mendirikan pesantren Mamba’ul Ma’ārif di
Denanyar. Pesantren tersebut memiliki corak fiqih yang sangat kental, selain
itu ia juga merintis kesetaraan gender dengan membuat kelas khusus perempuan di
pesantrennya. Perjuangannya di bidang sosial kemasyarakatan: Salah satu
perintis Tashwirul Afkar. A’wan (Anggota) Syuryah dalam susunan PBNU pertama
kali, 1947 wakil Rais ‘Ām PBNU, dan 1971-1980 Rais ‘Ām PBNU. Kiprahnya di
bidang politik: Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT) dalam barisan Sabilillah
pertahanan Negara, Mewakili unsur Masyumi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), Anggorta Konstiuante, dan Anggota DPR RI mewakili unsur NU. Beliau
menghembuskan nafas terakhirnya di Jombang tanggal 1980 pada usia 93 tahun dan
dimakamkan di komplek Pesantren Mamba’ul Ulum Denanyar Jombang.
Abdul Qodir Nasich
Abdul Qodir Nasich
Diposting oleh Pesantren Tanpa Atap 0
share
KH. Ahmad Qusyairi Bin Muhammad Shiddiq
Waliyullah yang Penulis
Lahir
di Lasem, 17 Februari 1894, ayahnya KH. Muhammad Shiddiq Jember, beliau putra
keempat dari 23 bersaudara. Masa mudanya ia habiskan menimba ilmu di berbagai
pesantren di Nusantara, diantaranya Langitan Tuban, Kajen Pati (Kiai Khozin),
Semarang (Kiai Umar), dan kepada KH. Cholil Bangkalan. Setelah menikahi seorang
Hafidzah, Nyai Fatmah binti KH. Yasin, karena rasa malunya yang belum hafal
al-Qur’an, beliau berangkat Ke Mekkah untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Tiga
bulan pertama beliau mampu menghafalkan 30 juz al-Qur’an. Sekembalinya di tanah
Jawa, beliau sering kali berpindah tempat tinggal, Pasuruan-Jember-Banyuwangi.
Beliau juga tergolong ulama yang produktif di bidang kepenulisan, diantaranya
kumpulan shalawat “al-Wasīlah al-Hariyyah”, dan karya monumentalnya “Tanwīr
al-Hijā”, yang kemudian disyarahi oleh Sayyid ‘Alawī ibn ‘Abbas al-Malikī
(ayahanda Prof. Dr. Sayyid Muhammad ibn ‘Alawī al-Malikī”. Beliau menghembuskan
nafas terakhirnya di Pasuruan, 28 November 1972.
Abdul Qodir Nasich
Abdul Qodir Nasich
Diposting oleh Pesantren Tanpa Atap 2
share
Reinterpretasi Hadis Bid'ah (Kritik Sanad dan Matan)
Islam sebagai sebuah Agama tentulah memiliki beberapa tuntunan yang
komprehensif dalam membina dan membimbing umatnya untuk taat kepada
ajaran-ajarannya. Agama ini merupakan salah satu dari ketiga agama wahyu (Abrahamic
Religions) yang segala sumber ajarannya bedasarkan tuntunan dari Tuhan,
yang kemudian diperantarakan melalui seorang Rasul (Utusan) untuk disampaikan
kepada umat manusia sebagai objek. Dan dalam hal ini, Muhammad ibn ‘Abd Allah yang
terpilih sebagai penyampai risalah tersebut. Segala perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan beliau dijadikan sebagai salah satu sumber Hukum Islam. Lengkapnya,
Islam memiliki dua sumber primer yang diyakini keduanya merupakan represntasi
dari kehendak Tuhan, yakni al-Qur’an dan Hadits.
Otoritas tertinggi dipegang oleh al-Qur’an, karena kesemua isinya
diriwayatkan secara Mutawatir, juga redaksi dan maknanya bersumber dari
Allah secara langsung. Berbeda dengan Hadits yang sebagian besar jalur
periwayatannya menempuh jalur Ahad, dan bukan wahyu Tuhan secara utuh,
melainkan Rasul hanya membawa prinsip dasar dari wahyu tersebut yang kemudian
diejawantahkan dalam bentuk perkataan dan juga perbuatan beliau. Dalam dataran
ini, Rasul sebagai pembawa risalah ketuhanan adalah utusan yang tidak mungkin
melakukan kesalahan ketika berijtihad, apabila salah pun pasti ada teguran dari
sang Pembuat Risalah (Allah). Namun apabila hal tersebut berkenaan dengan
urusan duniawi, Rasul yang juga merupakan manusia biasa sangatlah mungkin
melakukan kesalahan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, kedua sumber tersebut dirasa tidak mampu
dalam menjawab semua permasalahan sosial-keagamaan yang muncul pasca
berhentinya wahyu (ditandai dengan wafatnya Rasul). Hal ini sangatlah wajar,
karena pada fakta empiriknya, kehidupan sosial masyarakat terus berkembang,
sedangkan wahyu telah terputus. Berbagai upaya telah ditempuh guna menjawab
beberapa problematika tersebut, Ulama mengambil jalan Ijma’ (yakni
kesepakatan komunal para Ulama terdahulu). Dan hal ini pun kemudian tidaklah
mampu meng-cover keseluruhannya, pada masa selanjutnya munculnya sebuah
gagasan Qiyas, yakni menganalogikan teks dengan konteks.
Kesadaran akan realita sosial yang dinamis tersebut, adalah sebuah
keniscayaan untuk bisa memformulasikan teks dengan konteks. Karena konsekwensi
dari fenomena tersebut, sangatlah tidak mungkin kita berperilaku sama persis
dengan Rasul, bukan hanya karena perbedaan ruang dan waktu, tapi juga
disebabkan perbedaan karakteristik masyarakat yang ada. Terlebih ketika
dihadapkan dengan urusan duniawi, terlihat jelas bahwa sistem yang berlaku pada
tatanan masyarakat kekinian sangatlah berbeda dengan setting historycal
background masayarakat ketika Rasulullah hidup. Pun demikian dalam urusan
peribadatan, karena Islam tidak hanya tertentu untuk satu kaum dan untuk satu
masa, maka sangatlah wajar jika nantinya banyak timbul permasalahan yang belum
pernah ada di zaman Rasul. Ambil contoh menuntut Ilmu, hal ini merupakan salah
satu perintah dalam ajaran Agama Islam yang telah ada sejak zaman Nabi hidup.
Dan hal ini juga merupakan salah satu bentuk peribadatan dalam mendekatkan diri
kepada Allah. Akan tetapi dalam prakteknya, hal ini mengalami perubahan yang cukup
signifikan dari segi kaifiyyah, dengan adanya perguruan tinggi,
sekolah-sekolah umum, bimbingan belajar, dan lain sebagainya. Berbeda dengan
zaman Nabi, kegiatan menuntut Ilmu diadakan dalam bentuk halaqah di masjid-masjid
dan juga beberapa Khutbah Nabi. Adakah cara (kaifiyyah) tersebut (belajar
di sekolah, dst.) merupakan suatu hal yang baru dalam ajaran Islam sehingga
nantinya disebut dengan Bid’ah yang memiliki implikasi hukum haram? Dan juga
dari segi konten, banyak sekali ilmu-ilmu baru yang tidak pernah ada di zaman
Rasul yang sekarang sedang bertumbuhkembang. Dan apakah hal semacam ini juga
dikategorikan sebagai bid’ah dalam Agama Islam?
Dalam makalah sederhana ini, kami berusaha untuk membahas Bid’ah yang
memang secara eksplisit telah diharamkan oleh Rasul dalam beberapa hadits
beliau. Yakni dengan menggunakan analisis Ma’an al-Hadits, yang di
dalamnya membahas Bid’ah tersebut dari tinjauan makna yang terdapat
dalam hadits pelarangannya. Sedikit berbeda dengan analisis Ma’an al-Hadits pada
umumnya yang lebih menekankan aktualisasi yang berlangsung pada era kekinian
yang berangkat dari pemahaman sebuah Hadits Rasul, dalam makalah ini lebih
memfokuskan terhadap kajian teori semata. Namun bukan berarti hal yang baru,
pembahasan Bid’ah ini merupakan tema klasik yang sampai sekarang belum
juga usai perdebatannya.
B. Inventarisasi
Hadits-hadits Satu Tema
Dalam point ini akan disajikan beberapa redaksi Hadits yang setema dengan
menggunakan metode Takhrij bi al-Alfadz. Yang kemudian disertakan
beberapa Hadits lain yang tidak sama redaksi, namun masih memiliki keterkaitan
makna dengan Hadits-hadits sebelumnya.
Hadits primer:
أَخْبَرَنَا
عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ
جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللهَ
وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلا مُضِلَّ
لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ وَكُلُّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
ثُمَّ يَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَكَانَ إِذَا ذَكَرَ السَّاعَةَ
احْمَرَّتْ وَجْنَتَاهُ وَعَلا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ نَذِيرُ جَيْشٍ
يَقُولُ صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ ثُمَّ قَالَ مَنْ تَرَكَ مَالا فَلأَهْلِهِ وَمَنْ
تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ أَوْ عَلَيَّ وَأَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ[1]
“........dari Jabir ibn ‘Abd Allah berkata:Rasulullah saw bersabda dalam
khutbahnya dengan memuji Allah dan memberikan pujian terhadap yang berhak
mendapatkannya, dan kemudian berkata: “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh
Allah maka ia tidak ada kesesatan baginya, dan barang siapa yang disesatkan
oleh Allah, niscaya tidak ada petunjuk baginya. Sesungguhnya sebenar-benarnya
perkataan ialah Kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baiknya petunjuk ialah
petunjuk Muhammad, dan sejelek-jeleknya perkara ialah sesuatu yang baru, dan
setiap perkara yang baru itu merupakan bid’ah, dan setiap bid’ah ialah bentuk
dari kesesatan, dan setiap kesesatan nerakaah tempatnya.....”
Lafadz hadits yang bergarisbawah di atas merupakan kajian pokok dalam
makalah ini. Kemudian dari hasil takhrij yang dilakukan penulis dengan
menggunakan metode takhrij bi al-alfadz (lafadz kullu bid’ah, kullu
dlalalah, kullu muhdatsah) menemukan hasil pencaharian 95 hadits,
dengan perincian kullu bid’ah: 19, kullu dlalalah: 18, kullu
muhdatsah : 28. Dari kesekian banyaknya redaksi Hadits yang ditemukan,
matan hadits yang memiliki satu konteks dan satu makna terdapat 12 hadits,
rata-rata memiliki susunan redaksional yang hampir sama. Matan-matan Hadits
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Shahih Muslim 1435
و حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الله قَالَ كَانَ
رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلا
صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ
وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرُنُ بَيْنَ
إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ الله وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الامُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ
نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ
وَعَلَيَّ و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنِي
سُلَيْمَانُ بْنُ بِلالٍ حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ
جَابِرَ بْنَ عَبْدِ الله يَقُولا كَانَتْ خُطْبَةُ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَحْمَدُ الله وَيُثْنِي عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى
إِثْرِ ذَلِكَ وَقَدْ عَلا صَوْتُهُ ثُمَّ سَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِهِ و حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَخْطُبُ النَّاسَ يَحْمَدُ الله وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ
مَنْ يَهْدِهِ الله فَلا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ وَخَيْرُ
الْحَدِيثِ كِتَابُ الله ثُمَّ سَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِ حَدِيثِ الثَّقَفِيِّ
Sunan Abi Daud
3991
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِي
خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِيُّ
وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالا أَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ
نَزَلَ فِيهِ وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لا أَجِدُ
مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ
وَمُقْتَبِسِينَ فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً
ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ
الله كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى الله وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الامُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
Sunan Ibn Majah
42
حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ أَحْمَدَ
بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الله بْنُ الْعَلاءِ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي الْمُطَاعِ قَالَ سَمِعْتُ
الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ قَامَ فِينَا رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ
وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ الله وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ
فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى الله وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالامُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلالَةٌ
Sunan Ibn Majah
44
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ
وَأَحْمَدُ بْنُ ثَابِتٍ الْجَحْدَرِيُّ قَالا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الله قَالَ كَانَ
رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلا
صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ
وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرِنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ
السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الامُورِ كِتَابُ
الله وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ وَكَانَ يَقُولُ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ
دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَعَلَيَّ وَإِلَيَّ
Dalam rangka efisiensi
penulisan makalah, selanjutnya hanya akan dipaparkan hadits-hadits tersebut
dalam bentuk tabel. Karena dari kesemuanya tidak terdapat perbedaan redaksi
yang cukup signifikan.
Nama Kitab
|
Nomer
|
Bab (Kitab)
|
Sub-bab
(Bab)
|
Shahih Muslim
|
1435
|
Al-Jum’ah
|
Takhfif al-Shalat wa al-Khutbah
|
Sunan Abi Daud
|
3991
|
Al-Sunnah
|
Fi Luzum al-Sunnah
|
Sunan Ibn Majah
|
42
|
Al-Muqaddimah
|
Ittiba’ Sunah
al-Khulafa’ al-Rasyidin al-Muhdiyyin
|
Sunan Ibn Majah
|
44
|
Al-Muqaddimah
|
Ijtinab al-Bida’ wa
al-Jadl
|
Sunan Ibn Majah
|
45
|
Al-Muqaddimah
|
Ijtinab al-Bida’ wa
al-Jadl
|
Musnad Ahmad
|
13815
|
Baqi al-Musnad
al-Mukatsirin
|
Musnad Jabir ibn ‘Abd
Allah
|
Musnad Ahmad
|
14455
|
Baqi al-Musnad
al-Mukatsirin
|
Musnad Jabir ibn ‘Abd
Allah
|
Musnad Ahmad
|
16521
|
Musnad al-Syamiyyin
|
Hadits al-‘Irbadh ibn
Sariyyah ‘an al-Nabi
|
Musnad Ahmad
|
16522
|
Musnad al-Syamiyyin
|
Hadits al-‘Irbadh ibn
Sariyyah ‘an al-Nabi
|
Sunan Al-Darimi
|
95
|
Al-Muqaddimah
|
Ittiba’ al-Sunnah
|
Sunan Al-Darimi
|
208
|
Al-Muqaddimah
|
Fi Karahiyyat Akhdz
al-Ra’y
|
Sunan Al-Darimi
|
209
|
Al-Muqaddimah
|
Fi Karahiyyat Akhdz
al-Ra’y[2]
|
Kedua belas hadits tersebut berbicara tentang keharaman membuat perkara
baru dalam agama (Bid’ah) dan anjuran untuk senantiasa berpegang teguh pada
al-Qur’an dan Hadits, dan hadits tersebut dikeluarkan Rasul dalam fatwanya
ketika berkhutbah di depan para shahabat. Namun, terdapat beberapa versi yang
menerangkan tentang munculnya hadits tersebut, yang pertama ketika Rasul
berkhutbah setelah shalat shubuh berjama’ah, yang kedua ketika datang seorang
shahabat yang bernama Irbadh, kemudian ia meminta Rasulullah untuk memberikan mau’idhah
hasanah, ada juga yang mengatakan hadits ini muncul ketika Irbadh bertanya
dan itu terjadi usai shalat shubuh. Dan dalam hadits lain tidak terdapat
keterangan sama sekali kapan hadits ini muncul. Dalam makalah ini sengaja tidak
terlalu terfokus pada kajian asbab al-wurud,—hemat penulis—karena
pembahasan mengenai kapan hadits ini muncul tidaklah terlalu berpengaruh pada
penafsiran nantinya.
Kemudian diuraikan beberapa redaksi hadits yang memilki kesamaan tema,
ataupun beberapa hadits lain yang dapat membantu pemaknaan hadits di atas, baik
itu yang seide, ataupun yang tampak saling bertentangan. Dan disini tidak disertakan
hasil takhrij yang menggunakan metode bi al-maudlu’ al-fiqhiyy, karena
memang tema Bid’ah tidak termasuk dalam tema-tema fiqh. Dan juga dikarenakan
perbedaan peletakan hadits bid’ah ini dalam al-Kutub al-Tis’ah, dalam
sebagian kitab, hadits ini ditempatkan dalam muqaddimah, di kitab lain hadits
ini dimasukkan ke dalam pembahasan shalat al-Idain, tidak dikelompokkan dalam
satu pembahasan utuh. Sehingga hal ini menyulitkan penulis dalam mencari
menggunakan metode Takhrij bi al-Maudlu’. Berikut hadits-hadits yang
berkaitan dengan hadits-hadits sebelumnya:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ
جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ[3]
“....dari Aisyah R.A berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Barangsiapa
memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian
dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”.. Diriwayatkan juga dari jalur Abd Allah ibn Ja’far.......”
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ سُلَيْمَانَ
الْعَسْكَرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ أَبُو هَاشِمِ بْنِ أَبِي خِدَاشٍ
الْمَوْصِلِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِحْصَنٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي
عَبْلَةَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا
وَلا صَلاةً وَلا صَدَقَةً وَلا حَجًّا وَلا عُمْرَةً وَلا جِهَادًا وَلا صَرْفًا وَلا
عَدْلا يَخْرُجُ مِنْ الإِسْلامِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ[4]
“…dari khudaifah berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah tidak akan
menerima amal ibadah orang yang ahli bid’ah, baik itu puasanya, shalatnya,
shadaqahnya, hajjinya, umrahnya, jihadnya, pembelanjaannya, dan juga
keadilannya, dia keluar dari Islam seperti keluarnya rambut dari adonan roti
(yang terbuat dari tepung)”[5]
قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ[6]
“Rasulullah
saw bersabda: Barang siapa yang mengawali perbuatan yang baik dalam agama Islam
(guna diikuti oleh orang setelahnya), maka baginya pahala (dari perbuatan
tersebut) dan juga pahala orang yang mengamalkannya setelahnya dengan tanpa
mengurangi pahala orang tersebut sedikitpun, dan barang siapa yang mengawali
perbuatan yang buruk dalam agama Islam (guna diikuti oleh orang setelahnya),
maka baginya dosa (dari perbuatan tersebut), dan juga dosa orang-orang yang
mengerjakan setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa-dosa mereka satu sama lain”
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ أَخْبَرَنِي الْحَجَّاجُ بْنُ أَبِي
عُثْمَانَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ اللهُ أَكْبَرُ
كَبِيرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلا
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ الْقَائِلُ كَلِمَةَ
كَذَا وَكَذَا قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ
عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَمَا
تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ ذَلِكَ[7]
“….dari Ibn ‘Umar
berkata: ketika kami shalat bersama dengan Rasul, salah seorang dari Jama’ah
mengucapkan kalimat “Allah Akbar kabiran wa alhamdu lillahi katsiran wa subhana
Allah bukratan wa ashilan” kemudian berkata Rasul: Siapa yang telah membaca
kalimat tersebut? Lalu berkatalah pemuda tersebut: Saya wahai Rasul. Dan
kemudian Rasul bersabda: Saya ta’jub mendengar kalimat itu, dan pintu-pintu
surga telah dibukakan untuk orang yang membacanya. Dan berkata Ibn ‘Umar: Saya
tidak pernah meninggalkannya (bacaan tersebut) semenjak Rasul bersabda yang
demikian itu”
C. Kritik Sanad
Adanya
tenggang waktu yang relatif jauh antara kita dan Rasul mengharuskan untuk
meneliti otentisitas dari Hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah.
Sehingga penelitian terhadap sanad yang menggambarkan jalannya informasi dari
masa ke masa menjadi kajian yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Diskurus Ma’an
al-Hadits pun juga mensyaratkan adanya tingkat validitas diterimanya hadits
yang akan dikaji dan diteliti (dengan standard minimal Hasan).[8] Poin
ini akan membahas para rawi yang terlibat dalam proses periwayatan
hadits yang sedang dibahas.
Para Rawi:
·
Jabir ibn ‘Abd Allah
Beliau
memiliki nama lengkap Jabir ibn ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn Haram. Lahir dan besar
di kota Madinah, dan hidup dalam kalangan Anshar. Beliau merupakan salah
satu tokoh di kalangan sahabat. Guru-guru beliau antara lain; Ubay ibn Ka’b,
Ummi Kultsum binti Abi Bakr, Qatadah ibn Nu’man, dan masih banyak lagi
guru-guru beliau dari kalangan sahabat. Dalam diskursus Ilmu Hadits kalangan
sunny, Jumhur Ulama bersepakat bahwa semua sahabat memiliki kredibilitas
tertinggi dalam periwayatan, sehingga penelitian terhadap mereka tidak lagi
diperlukan. Karena mereka merupakan saksi utama yang hidup bersama dengan
Rasul, sehingga kemampuan pemahaman dan juga daya tangkapnya pun memiliki nilai
lebih.[9]
Dan implikasinya pun, sangatlah jarang tentang informasi Jarh wa al-Ta’dil terhadap
mereka.
·
Abu Ja’far
Nama Abu Ja’far merupakan
kunyah yang dinisbatkan kepada anaknya yang juga termasuk salah satu Rawi yang
eksist di dunia periwayatan Hadis. Beliau memiliki nama lengkap Muhammad Ibn
‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib. Lahir di kota Madinah, membuatnya
lebih mudah dalam mengakses informasi yang berhubungan dengan Islam, khususnya
tentang Hadits. Terlebih beliau juga termasuk ke dalam Ahl al-Bait, tepatnya
cucu dari Husain RA. Dan Jabir ibn ‘Abd Allah adalah satu dari guru yang telah
mengajarkan banyak disiplin Ilmu kepadanya. Hasan pun bertindak sebagai guru
yang telah mendidik beliau, sehingga ilmu yang diserapnya pun sangat banyak
yang bersumber dari perawi yang dapat dipercaya kredibilitasnya. Selain sebagai
guru, Hasan juga termasuk dari kerabat beliau, yaitu saudara kandung dari Kakek
beliau, Husain. Kemudian di akhir hayatnya beliau habiskan untuk meriwayatkan
hadits-hadits yang telah ia terimanya, dan wafat bertepatan tahun 114 H, di
kota kelahirannya, Madinah. Sanjungan yang disematkan kepada beliau dari para
Ulama lain pun sangat banyak, diantaranya Ibn Hibban menilainya sebagai seorang
yang tsiqah, dan juga Muhammad ibn Sa’d dengan penilaian yang sama. Beliau juga
mempunyai banyak murid, diantaranya Rabi’ah ibn Abi Abd al-Rahman, Ja’far ibn
Muhammad yang juga merupakan anak beliau dan dalam sanad yang sedang dibahas
adalah salah satu perawi yang terdapat dalam mata rantai sanad hadits ini.
·
Ja’far ibn Muhammad
Ja’far ibn
Muhammad—sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya—adalah anak dari Muhammad
ibn ‘Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib yang juga merupakan seorang rawi
yang masyhur. Darah Ahl al-Bait pun masih mengalir dalam tubuh
beliau. Lahir dan wafat di kota Madinah, namun penyusun tidak dapat memberikan
informasi mengenai sejarah pelawatan keilmuannya dikarenakan minimnya data.
Wafat pada tahun 148 H, sehingga dapat diketahui dari sini bahwa beliau masih
sempat bertemu dengan ayahnya yang wafat pada tahun 114 H, sehingga nantinya
dapat diketahui ketersambungan sanad. Dari ayahnya itu, beliau banyak
mendapatkan Ilmu dan juga beberapa riwayat Haidts. Namun sebagaimana seorang
Ulama, guru yang mengajarkan Ilmu kepadanya tidaklah berjumlah sedikit,
diantara gurunya yang lain ialah Atha’ ibn Abi Rabah seorang Ulama terkenal
pada masanya. Mengenai kepribadian dan juga kapasitas intelektualnya, banyak
Ulama yang memberikan komentar terhadapnya, salah satunya Imam al-Syafi’i. Imam
al-Syafi’i menilainya sebagai perawi yang tsiqah, komentar senada pun
dating dari al-Nasa’I, Yahya ibn Mu’ayyan dan juga ibn Abi Haitsamah.
·
Sufyan
Sebagian orang mengenalnya
sebagai tokoh spiritual (Sufi), namun dibalik itu, beliau juga termasuk salah
satu dari rawi yang banyak meriwayatkan Hadits. Beliau memiliki nama
lengkap Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq, dan kunyahnya Abu ‘Abd Allah. Nasab beliau
al-Tsaury, dan hidup pada thabaqat Kibar al-Tabi’in. Beliau lahir di
kota Kuffah, dan kemudian wafat di kota Bashrah pada tahun 161 H. Diantara
guru-guru beliau adalah Ja’far ibn Muhammad, Adam ibn Sulaiman, dan juga
Ibrahim ibn ‘Amir ibn Mas’ud. Beberapa muridnya antara lain ‘Abd Allah ibn
al-Mubarak dan Ibrahim ibn Sa’id. Komentar dari Ulama pun sangat jarang yang
mencela beliau, hampir dikatakan tidak ada. Syu’bah ibn al-Hajjaj menilainya
sebagai Amir al-Mu’minin fi al-Hadits, yakni sebuah gelar tertinggi
dalam klsifikasi Ulama Hadits, Ibn Hibban mengomentarinya dengan min
al-Huffadz al-Muttaqin, dan Yahya ibn Mu’ayyan menilainya dengan gelar tsiqah.
·
Ibn al-Mubarak
Adalah ‘Abd Allah ibn
Mubarak ibn Wadlih yang dalam sanad ini hanya disebut ibn al-Mubarak. Beliau
hidup pada masa pertengahan Thabaqah Tabi’in (al-Wustha min al-Itba’).
Kunyah beliau—selain sering disebut ibn al-Mubarak, juga sering disebut
dengan—Abu ‘Abd al-Rahman, dan bernasabkan al-Marwazi. Beliau lahir di kota
Hamash, dan kemudian wafat di kota Harah pada tahun 181 H. Sufyan ibn Sa’id
adalah salah satu dari sekian banyak guru beliau, dan yang lain Sa’id ibn
Yazid. Murid-murid yang pernah belajar Ilmu kepadanya diantaranya ‘Utbah ibn
‘Abd Allah ibn ‘Utbah, dan juga ‘Utsman ibn Muhammad ibn Ibrahim. Beberapa
Ulama Ahli Hadits yang memberikan sanjungannya terhadap beliau Ahmad ibn Hanbal
: Hafidz, Abu Hatim al-Razy : Tsiqah, Imam.
·
‘Utbah ibn ‘Abd Allah
Beliau adalah salah satu
dari guru Imam Besar dalam sejarah keilmuan Hadits, yakni Imam al-Nasa’i.
Memiliki nama lengkap ‘Utbah ibn ‘Abd Allah ibn ‘Utbah, yang lahir di kota
Hamash dan wafat pada tahun 244 H. Beliau termasuk dari golongan Kibar
Tubba’ al-Itba’, yakni masa Tabi’ al-Tabi’in awal. Diantara beberapa
gurunya adalah ‘Abd Allah ibn al-Mubarak, dan juga Yunus ibn Nafi’. Penilaian
beberapa Ulama terhadapnya hampir kesemuanya men-ta’dil-nya, antara
lain muridnya sendiri, al-Nasa’i meninalainya sebagai rawi yang tsiqah,
ibn Hibban menilainya juga senada dengan al-Nasa’i.
Telah diuraikan biografi
singkat para rawi yang terdapat pada sanad Hadits Imam al-Nasa’i 1560.
Data yang diuaraikan semuanya diambil dari software CD ROM Mausu’ah
al-Hadits al-Syarif, yang berupa data mentah dan kemudian disajikan dalam
bentuk narasi-deskriptif. Setelah mengetahui biografi singkat tersebut dalam
pembahasan ini akan diinformasikan kesimpulan dari Jarh wa Ta’dil terhadap
mereka dari para Ulama dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Nama Kritikus
|
Nama Rawi
|
||||
Abu Ja’far
|
Ja’far
|
Sufyan
|
Ibn Mubarak
|
‘Utbah
|
|
Ahmad ibn Hanbal
|
---
|
---
|
---
|
حا فظ
|
---
|
Ibn Hibban
|
ذكره من
الثقات
|
---
|
من الحفاظ المتقين
|
---
|
وثقه
|
Al-Nasa’i
|
---
|
ثقة
|
---
|
---
|
ثقة, لابأس به
|
Yahya ibn Mu’ayyan
|
---
|
ثقة
|
ثقة
|
متثب ثقة, صحيح الحديث
|
---
|
Abu Hatim al-Razy
|
---
|
ثقة, لايسأل عن مثله
|
---
|
ثقة إمام
|
---
|
Syu’bah
|
---
|
---
|
أميرالمؤمنين في الحديث
|
---
|
---
|
Al-Syafi’i
|
---
|
ثقة
|
---
|
---
|
---
|
Dari semua kritikus yang
tercantumkan di atas, tidak satupun yang mencela (Tajrih) para perawi
yang meriwayatkan Hadits yang sedang dibahas ini. Jadi kesimpulannya, dari segi
intelektualitas maupun sisi personalitinya, para perawi di atas telah layak
untuk di-ta’dil. Mengenai ketersambungan sanad, dapat kita lihat dari
masa hidup para perawi di atas, kesemuanya sangatlah mungkin untuk bertemu,
sehingga kemungkinan pemalsuan data historis periwayatan sangatlah minim
terjadi. Syahid dari jalur lain pun turut memberikan sumbangsih dalam
meningkatkan derajat otentisitas Hadits ini. Dan antara satu rawi ke rawi lain
setelahnya memiliki hubungan antara guru dan murid, sehingga informasi yang
disampaikan pun menjadi lebih berkualitas dibandingkan dengan para rawi yang
tidak memiliki hubungan tersebut. Terlebih hubungan antara Muhammad ibn ‘Ali
dengan Ja’far ibn Muhammad ibn ‘Ali memiliki hubungan ayah dan anak, sehingga
memperkuat adanya ketersambungan mata rantai sanad. Dan disini penulis hanya
menelaah sanad periwayatan hadits dari satu jalur, karena dirasa dapat mewakili
untuk sekedar membuktikan bahwa hadits yang dikaji ini adalah hadits Maqbul yang
memang dapat menjadi Hujjah dalam Istinbath hukum. Fokus penulis
lebih ditekankan pada Naqd al-Dakhili (kritik matan) yang akan diuraikan
pada pembahasan selanjutnya.
D. Kritik Matan
Setelah dilakukan penelitian singkat tentang sanad Hadits, langkah selanjutnya
pembahasan ini akan menitikberatkan terhadap pemaknaan yang erat kaitannya
dengan aspek kebahasaan. Sub-bab ini nantinya akan terbagi ke dalam beberapa
poin, poin yang pertama akan menguraikan Bid’ah secara definitif, baik
itu secara etimologi maupun terminologi yang berkembang pada pemahaman beberapa
Ulama mengenai term ini. Poin selanjutnya berusaha menjelas-jabarkan Syarh Hadits
tinjauan linguistik serta pendekatan tematik (konfirmasi dengan Hadits dan
dalil-dalil lain), dan bagian terakhir dari sub-bab ini akan menghadirkan
informasi mengenai praktek keagamaan para sahabat dan generasi setelahnya pasca
wafatnya Rasul.
1. Definisi “Bid’ah”
Penting rasanya pemahaman makna bid’ah itu sendiri sebelum jauh
memahami redaksi Hadits Rasul yang berisikan informasi tentang larangan bid’ah
ini, karena akan membantu dalam menentukan arah logika pemahaman sebuah
teks. Secara etimologi, lafadz Bid’ah merupakan bentuk mashdar dari
akar kata Bada’a- Yabda’u (بدع
–يبدع) yang bermakna membuat sesuatu baru yang belum ada
sebelumnya.[10]
Lafadz ini juga digunakan dalam bentuk Fa’il (pelaku dari suatu
perbuatan) dalam al-Qur’an, yakni pada QS. Al-Baqarah (2): 117 ....بَديعُ السموات والأرض , pada ayat ini lafadz Badi’ merupakan
sighat fa’il yang bermakna pencipta sesuatu yang belum ada sebelumnya, yakni
Allah menciptakan langit tanpa permisalan apapun, tidak terinspirasi dari
perkara lain yang serupa.[11]
Contoh lain yang dihadirkan dalam beberapa literatur yang kaitannya dengan
pemaknaan kata Bid’ah secara linguistik ialah ayat kesembilan dari surat
al-Ahqaf (46),…… قُلْ مَا
كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ, yang bermaksud bahwa Nabi bukanlah Rasul yang
pertama kali diutus, telah terdapat beberapa Rasul sebelumnya.[12]
Dr. ‘Izzat ‘Ali ‘Athiyyah memberikan tambahan pengertian dengan sesuatu yang
diciptakan tanpa permisalan sebelumnya, baik itu mencakup perkara yang baik,
ataupun perkara yang buruk. Sehingga menurut bahasa pun, kata Bid’ah ini
sudah mencakup dua pembagian yang sering diperselisihkan, yaitu antara baik (Hasanah,
Mahmudah) dan buruk (Sayyi’ah, Dlalalah, Madzmumah).[13]
Makna itu menjadi menyempit ketika dikaitkan dengan term Bid’ah yang
terdapat dalam ajaran Islam. Sehingga terkadang terjadi paradoksi antara
pembatasan makna bid’ah antara definisi bahasa dan juga limitasi syar’i.
Dalam beberapa karya konvensional, Ulama klasik juga berbeda dalam memberikan
definisi dan batasan terhadap terma ini. Secara garis besar dari banyaknya
pendapat tersebut, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, mendefinisikan
bid’ah sebagai segala sesuatu yang dimaksudkan ke dalam urusan Agama dan tidak
pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw semasa hidupnya, cakupannya tidak hanya
perkara yang beriorientasi buruk, akan tetapi perkara baik pun juga termasuk
jika tidak pernah dilakukan Rasul sebelumnya.[14]
Kedua,segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasul yang bertentangan
dengan Syara’.[15]
Dari beberapa definisi di atas, setidaknya ada sedikit gambaran bagaimana
pendapat Ulama dalam memaknai kata Bid’ah. Sub-bab ini tidak akan
terlalu jauh membahas bid’ah, hanya sebatas pendefinisian. Mengenai macam
pengelompokkan dan juga metode yang digunakan Ulama dalam mengklasifikan Bid’ah
ketika dihadapkan dengan Hadis yang sedang dikaji mengenai generalisasi
keharaman Bid’ah secara mutlak akan dijelas-paparkan dalam poin
berikutnya.
2. Kajian Linguistik Matn
al-Hadits Serta Pendekatan Tematik Komprehensif
Pemaknaan sebuah teks tidak akan terlepas dengan kaidah kebahasaan yang
membentuk kalimat tersebut. Untuk Hadits—dalam hal ini menggunakan bahasa Arab
sebagai mediatornya—sudah barang tentu membutuhkan uslub bahasa Arab guna
memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Maka dalam kajian linguistik ini,
penulis berusaha menelisik lebih jauh lagi makna Matn al-Hadits di atas
untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulan berdasarkan redaksi guna mendapatkan pemahaman
yang lebih proporsional dan juga komprehensif.
2.1. Setiap
Perkara Baru Adalah Bid’ah
......وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ وَكُلُّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ........[16]
“...Dan setiap perkara yang baru itu merupakan
bid’ah, dan setiap bid’ah ialah bentuk dari kesesatan, dan setiap kesesatan
nerakalah tempatnya....”
Jika dimaknai secara literal, maka pemahaman akan Hadits ini serasa ekstrem.
Karena sangatlah tidak mungkin kita hidup sama persis dengan kehidupan
Rasulullah. Redaksi setiap perkara baru merupakan bid’ah, maka tidak ada
kemungkinan bagi kita untuk berperilaku dan bersikap yang tidak pernah
dilakukan Rasul sebelumnya, tidak hanya dalam urusan peribadatan, namun juga
mencakup aspek duniawi. Akan tetapi aspek duniawi tersebut terleburkan dengan
adanya hadits:
....مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ.......
“....Barangsiapa
memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) ini, yang tidak merupakan
bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak...”
Sehingga
pemaknaannya menjadi menyempit dengan Takhshish dari
hadits lain. Hubungan antara sumber hukum Islam satu dengan yang lainnya
memiliki hubungan integratif-interkonektif, tidak dapat terpisahkan satu sama
lain. Baik itu ayat al-Qur’an satu dengan ayat al-Qur’an lain, al-Qur’an dengan
Hadits, maupun Hadits satu dengan Hadits lain. Hadits tersebut mengindikasikan
bahwa sesuatu yang tertolak dan dilarang oleh Agama hanya perkara baru yang
tertentu dalam urusan Agama saja. Hal ini juga sejalan dengan pendefinisian Bid’ah menurut
Jumhur Ulama yang membatasinya dengan perkara baru yang cakupan wilayahnya hanya
meliputi perkara Ukhrawi.[17] Akan
tetapi, tidak dengan mudahnnya permasalahan dunia ini dikecualikan, karena
pembatasan antara dimensi duniawi dan ukhrawi merupakan wilayah abu-abu (tidak
memiliki batasan pasti), dan dalam faktanya pun, terkadang agama memasukkan
hal-hal yang sekilas dipandang sebagai perkara duniawi ke dalam perkara ukhrawi. Namun setidaknya
dapat kita berikan suatu batasan umum dalam hal ini, urusan ukhrawi
ditertentukan kepada urusan ibadah yang sifatnya vertikal (Habl Min Allah), dan
ibadah antar sesama (Habl Min al-Nas)
menjadi terkecualikan dari urusan ukhrawi ini. Hadits lain yang juga turut
melegitimasi batasan Bid’ah ke dalam urusan ibadah Mahdlah:
........لا يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ
بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلا صَلاةً وَلا صَدَقَةً وَلا حَجًّا وَلا عُمْرَةً وَلا جِهَادًا
وَلا صَرْفًا وَلا عَدْلا يَخْرُجُ مِنْ الإِسْلامِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ
الْعَجِين
“.......Allah tidak akan menerima amal ibadah orang yang ahli bid’ah, baik
itu puasanya, shalatnya, shadaqahnya, hajjinya, umrahnya, jihadnya,
pembelanjaannya, dan juga keadilannya, dia keluar dari Islam seperti keluarnya
rambut dari adonan roti (yang terbuat dari tepung”
Hadits di atas dapat memberikan tambahan penjelasan mengenai kategorisasi Bid’ah
yang diharamkan. Sebenarnya hadits ini lebih berbicara mengenai akibat dari orang
yang membuat Bid’ah dengan konsekwensi ibadahnya tidak akan diterima.
Setidaknya dari konsekwensi tersebut dapat menginformasikan bahwa batasan
bid’ah lebih dikhsususkan dalam urusan ibadah Mahdlah. Dan rasul pun
dalam salah satu hadits beliau menyebutkan bahwa Rasul membebaskan umatnya
bertindak dalam urusan dunia sesuai yang mereka yakini akan kebenarannya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا
ثَابِتٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَهِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ أَصْوَاتًا فَقَالَ مَا هَذَا
الصَّوْتُ قَالُوا النَّخْلُ يُؤَبِّرُونَهَا فَقَالَ لَوْ لَمْ يَفْعَلُوا لَصَلَحَ
فَلَمْ يُؤَبِّرُوا عَامَئِذٍ فَصَارَ شِيصًا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنْ كَانَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَشَأْنُكُمْ
بِهِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أُمُورِ دِينِكُمْ فَإِلَيَّ[18]
“….kemudian berkata Rasulullah: Apabila perkara yang kaitannya dengan
urusan dunia, maka hal itu tergantung pada diri kalian, dan apabila perkara
yang kaitannya dengan urusan agama, maka bagikulah tanggung jawabnya.”
Hadits inilah yang kemudian memperkuat statemen bahwa dalam urusan agama (Ukhrawi)
harus mengikut kepada sunnah Rasul, dan urusan dunia bukanlah menjadi
permasalahan jika kita membuat perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasul sebelumnya.[19]
Maka poin yang didapat dari potongan hadits وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ ini hanya dikhususkan bagi perkara baru yang
hubungannya dengan pembuatan syari’at.
2.2. Setiap Bid’ah Merupakan
Kesesatan
Analisis selanjutnya pada
kalimat “وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ“,
lafadz Kullu tersebut merupakan penyeluruhan dari bentuk mufrad Bid’ah,
sehingga hal ini berimplikasi bahwa tidak adanya pembagian baik buruk dalam
urusan Bid’ah, meminjam istilah Gus Mus gebyah uyah, semua bid’ah
pasti sesat. Hal ini jika dikembalikan kepada pribadi Rasulullah
sebagai sosok yang memang diberi anugerah untuk mengungkapkan jawami’
al-Kalam (singkat tapi padat), maka sangatlah diperlukan kajian lebih
mendalam lagi mengenai konsep peredaksian hadits-hadits yang diucapkan oleh
beliau. Dalam kajian linguistik
yang lebih jauh lagi (Balaghah), lafadz ini memiliki dua kemungkinan
makna. Pertama, al-Istighraq (all-inclusive), yakni meratakan seluruh
lafadz setelahnya dalam satu hukum, seperti pada contoh [20]كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ, dalam ayat tersebut Kullu berfaedah Istihgra’,
setiap makhluk hidup pasti akan binasa tanpa terkecuali.[21] Kedua,
Kullu yang mengandung mustatsnayat, yaitu terdapat pengecualian dari
cakupan kata Kullu, dan memiliki arti sebagian, hampir keseluruhan atau
juga kebanyakan, seperti pada contoh sabda
Rasulullah: “Sesungguhnya
biji hitam ini (al-habbat al-sauda’) adalah obat bagi segala (kull) penyakit kecuali mati”.[22]
Para mufassir sepakat bahwa kalimah ‘umum’ yang digunakan dalam hadits
ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud hadits ini sebenarnya
ialah ‘beberapa’ penyakit bisa disembuhkan dengan habbat al-sauda’,
jadi bukanlah semua jenis penyakit dapat disembuhkan dengan satu obat, karena
hal ini juga bertentangan dengan logika dan juga ilmu pengetahuan. Ada Mustatsna
(pengecualian) yang tersimpan selain Mustatsna yang nampak (mati),
dengan kata lain ada beberapa penyakit lain (selain mati) yang tidak bisa
disembuhkan dengan al-habbat al-sauda’.[23]
Dari dua kaidah mengenai
pemaknaan lafadz Kullu di atas, belumlah dapat disimpulkan secara pasti,
Kullu bid’ah dlalalah termasuk dalam kategori pemaknaan yang mana.
Sehingga diperlukan tambahan data guna melengkapi analisis redaksi Hadits di
atas. Dalam kaidah Ushul al-Fiqh, lafadz yang berkonotasi ‘Amm memliki
tiga kemungkinan makna, pertama, lafadz ‘Amm yang tidak mungkin di-takhshish,
adalah lafadz ‘Amm yang disertai oleh qarinah yang meniadakan pen-takhshish-annya,[24]
seperti dalam firman Allah:
....... وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ.........
Kedua, ‘Amm yang dimaksudkan khusus karena
adanya qarinah yang menghilangkan keumumannya dan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafadz itu adalah sebagian dari
satuan-satuannya,[26]
seperti firman Allah
.......وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ....
“.....dan (diantara)
kewajiban manusia terhadap Allah ialah melaksanakan ibadah haji ke
baitullah...”[27]
Yang dimaksud manusia
dalam ayat ini hanyalah tertentu kepada Mukallaf, yakni orang yang Islam,
Baligh, dan berakal. Pengecualian anak kecil dan juga orang gila disebabkan
adanya indikator sumber hukum lain yang menyatakan bahwa setiap kewajiban hanya
dibebankan kepada mukallaf.
Ketiga, ‘Amm yang bermakna khusus tanpa adanya qarinah yang melatarbelakangi
kekhususannya.[28]
Ketiga
kategori pemaknaan lafadz ‘Amm di atas, kemungkinan kedua yang paling tepat
untuk memaknai lafadz ‘Amm “وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ”,
karena adanya Takhshis dari hadits lain yang menyatakan bahwa perkara
baru yang dibuat seseorang dalam urusan agama terbagi atas dua bagian, baik dan
buruk. Yakni hadits:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
Barang siapa yang mengawali perbuatan yang baik dalam agama Islam (guna
diikuti oleh orang setelahnya), maka baginya pahala (dari perbuatan tersebut)
dan juga pahala orang yang mengamalkannya setelahnya dengan tanpa mengurangi
pahala orang tersebut sedikitpun, dan barang siapa yang mengawali perbuatan
yang buruk dalam agama Islam (guna diikuti oleh orang setelahnya), maka baginya
dosa (dari perbuatan tersebut), dan juga dosa orang-orang yang mengerjakan
setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa-dosa mereka satu sama lain”
Metode inilah yang disebut dengan Takhshish al-‘Amm, yakni
mengkhususkan dalil yang masih bersifat umum kepada yang khusus dengan
ditemukannya dalil lain yang mengkhususkan keumumannya. Maka kesimpulan
sementara yang didapat, perkara baru yang sesat (Dlalalah) hanya yang berkaitan
dengan urusan baru di dalam agama dan bersifat tercela (sayyi’ah/madzmumah),
yakni yang bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hasil analisis ini juga
didukung dengan pernyataan beberapa Ulama yang juga membagi Bid’ah ke dalam dua kategori. Menurut Ibnu Atsir,
bid’ah terbagi menjadi dua, yakni : Bid’ah yang baik (hasanah)
dan bid’ah yang sesat (dlalalah). Bid’ah yang tidak sesuai aturan
Allah dan Rasul-Nya termasuk golongan bid’ah sesat yang dicela agama.
Namun, jika sesuai dan tidak melanggar aturan Allah serta Rasul-Nya, maka
termasuk bid’ah yang baik dan terpuji. Sedangkan apabila belum ada
contoh atasnya seperti perbuatan bersungguh-sungguh dalam pekerjaan, menuntut
ilmu di sekolah dan perguruan tinggi, dan seluruh perbuatan baik lainnya, ia
dianggap sebagai perbuatan terpuji asal tidak bertentangan dengan syariat
agama.[29]
Senada dengan
pernyataan Ibn al-Atsir di atas, dalam Fath al-Bāri karya Ibn Hajar
al-Asqalany disebutkan dalam syarah hadis-hadis larangan melakukan bid’ah, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yakni bid’ah mahmudah dan
bid’ah madzmumah. Bid’ah mahmudah adalah bid’ah yang sesuai dengan sunnah. Sementara
bid’ah madzmumah adalah bid’ah yang menyalahi sunnah. Riwayat ini dikeluarkan
secara maknawi oleh Abu Nu’aim dari jalan Ibrahim bin Junaid dari Imam Syafi’i.[30]
Dalam keterangan lain dari kitab yang sama dijelaskan dari riwayat Baihaqi
bahwa Imam Syafi’i berpendapat, bid’ah itu ada dua. Bid’ah yang menyalahi
Qur’an, sunnah, atsar sahabat, dan ijma’ merupakan bid’ah sesat. Sementara
bid’ah yang sesuai dengan kebaikan dan tidak menyalahinya, maka itu bukan
bid’ah yang sesat.[31]
Hadits lain yang
juga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk men-takhsis hadits kullu
bid’ah dlalalah ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ أَخْبَرَنِي الْحَجَّاجُ بْنُ أَبِي
عُثْمَانَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ اللهُ أَكْبَرُ
كَبِيرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلا
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ الْقَائِلُ كَلِمَةَ
كَذَا وَكَذَا قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ
عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَمَا
تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ ذَلِكَ
“….dari Ibn ‘Umar
berkata: ketika kami shalat bersama dengan Rasul, salah seorang dari Jama’ah
mengucapkan kalimat “Allah Akbar kabiran wa alhamdu lillahi katsiran wa subhana
Allah bukratan wa ashilan” kemudian berkata Rasul: Siapa yang telah membaca kalimat
tersebut? Lalu berkatalah pemuda tersebut: Saya wahai Rasul. Dan kemudian Rasul
bersabda: Saya ta’jub mendengar kalimat itu, dan pintu-pintu surga telah
dibukakan untuk orang yang membacanya. Dan berkata Ibn ‘Umar: Saya tidak pernah
meninggalkannya (bacaan tersebut) semenjak Rasul bersabda yang demikian itu”
Hadits ini memberikan ketegasan bahwasannya Rasul pun menerima perkara baru
dalam urusan peribadatan yang datangnya tidak dari beliau secara langsung,
karena bacaan “kabiran wa alhamdu... dst” tersebut berasal dari sahabat
yang kemudian didengar oleh Rasul, dan Rasul tidak menyalahkannya, bahkan
memberikan apresiasi terhadap bacaan yang dibuat oleh sahabat tersebut. Namun
tetap dalam ketentuan syari’at yang ada, karena pasca wafatnya Rasul kita tidak
bisa mengkorfirmasi benar salahnya suatu perkara kepada beliau secara langsung.
Sehingga al-Qur’an, al-Hadits, Qaul al-Shahabah dan juga Atsar
al-Tabi’in mutlak menjadi pegangan yang harus dipertimbangkan dalam
memutuskan suatu hukum. Karena dalam etika berijtihad, seseorang haruslah
bersungguh-sungguh dalam menggali hukum suatu perkara untuk ditemukan
solusinya, apabila ia benar maka akan mendapatkan dua pahala, dan apabila
salah, ia akan mendapatkan satu pahala. Asalkan dengan catatan berhati-hati dan
bersungguh-sungguh sesuai dengan makna kata ijtihad itu sendiri. Sebagaimana
yang terdapat dalam Hadits Rasul:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ
بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ
حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ
أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ
أَجْرٌ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ
حَزْمٍ فَقَالَ هَكَذَا حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِثْلَهُ[32]
“... Amr ibn ‘Ash mendengar
Rasulullah bersabda: Jika seorang hakim ketika menghukumi suatu perkara dengan
ijtihadnya, dan kemudian dia benar (ijtihadnya) maka baginya dua pahala, dan
apabila dalam menghukumi perkara tersebut dengan ijtihadnya yang salah, maka
baginya satu pahala.....”
Jikalau memang Bid’ah diharamkan
secara mutlak lantas mengapa Rasul juga membolehkan ijtihad seperti dalam
haditsnya di atas. Dalam riwayat lain
3594 - حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِى عَوْنٍ
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أَخِى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ
مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله
عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ
تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ « فَإِنْ
لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه
وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-
وَلاَ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ
اللهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ
رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللهِ ».[33]
Hadits ini juga mengarahkan pada kebolehan mengadakan perkara baru (dengan
jalan ijtihad) dalam urusan Agama Islam, terlebih Rasul menyetujuinya bahkan
memuji seraya menepuk dada Mu’adz yang berkata: saya akan berijtihad dengan
pendapatku (jika tidak menemukan hukum suatu perkara dalam al-Qur’an dan Hadits).
Dari uraian analisis linguistik yang juga dipadukan dengan pendekatan
tematik, yakni mengaitkannya dengan hadits-hadits lain setema, dapat ditarik
kesimpulan sementara, bahwa bid’ah yang dilarang oleh Rasul adalah Bid’ah dalam
urusan Agama yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits secara prinsipil.
Namun ini bukan merupakan kesimpulan final, karena nantinya akan berusaha
diulas mengenai pendekatan beberapa ilmuan dalam membahas tema bid’ah secara
komprehensif. Yakni tidak terpaku terhadap teks hadits di atas.
2.3. Setiap Kesesatan
Nerakalah Tempatnya
Pembahasan ini tidak akan terlalu panjang lebar, karena potongan hadits
sebelumnya telah dibahas cukup rinci, sehingga kekhususan lafadz sebelumnya
mempengaruhi kejelasan pemaknaan redaksi setelahnya. Sebelumnya disiggung
mengenai kriteria perkara baru yang dianggap Bid’ah, dan bid’ah yang tidak diperbolehkan. Sehingga makna Bid’ah yang tergolong dhalalah disini menjadi ikut menyempit, yakni bid’ah
yang tergolong dlalalah ialah bid’ah
diniyyah sayyi’ah. Adapun lafadz kullu dalam redaksi kullu
dhalalah—hemat penulis—merupakan kullu yang berfaedah li
al-Istighraq, yakni meleburkan
segala jenis kesesatan ke dalam satu hukum, dan setiap kesesatan nerakalah
tempatnya. Berbeda dengan kalimat kullu
bid’ah, lafadz tersebut menjadi
khusus karena adanya takhshish dari beberapa hadits lain. Namun kullu dlalalah disini mutlak tanpa pengecualian, karena tidak adanya dalil yang
mengkhususkan keumumannya. Jadi memang
setap kesesatan merupakan perbuatan tercela yang balasannya ialah neraka.
3. Praktek Keagamaan Pasca
Wafatnya Rasul
Beberapa praktek keagamaan para sahabat sangatlah berhati-hati dalam
melaksanakannya. Mereka sangat selektif memilih informasi tentang hal ihwal
Rasull semasa hidupnya. Hal ini dapat terlihat salah satunya dengan adanya taqlil
al-riwayah. Namun di sisi lain, dari kehatian-hatian tersebut, bukanlah
berarti segala yang dilakukan sahabat sama persis seperti apa yang telah
dilakukan Rasul. Salah satu contoh, ialah kodifikasi Al-Qur’an. Pada masa
Rasul, al-Qur’an diperintahkan agar ditulis dalam berbagai lembaran-lembaran
terpisah. Tidak diperintahkan untuk mengumpulkannya dalam satu buku.
Namun pasca terjadinya perang Yamamah, banyak sekali para sahabat yang
hafal al-Qur’an meninggal, tercatat ada 70 orang sahabat yang meninggal dari
kalangan Huffadh. Hal ini yang kemudian melatarbelakangi ‘Umar
mencetuskan pemikiran untuk mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an menjadi
satu kumpulan tulisan (buku). Pada awalnya Abu Bakr—selaku khalifah pada saat
itu—ragu untuk melaksanakannya, berdasarkan alasan Nabi tidak pernah melakukan
sebelumnya. Namun karena alasan kemaslahatan yang dikemukakan oleh ‘Umar begitu
kuat, akhirnya Abu Bakr pun menerima usulan tersebut.[34]
Tidak dapat dipungkiri, bahwa hal tersebut merupakan salah satu hal yang tidak
pernah dilakukan Rasul semasa hidupnya, dan perkara ini erat kaitannya dengan
urusan Agama (diniyyah). Maka jikalau keumumam lafadz Kullu bid’ah
dlalalah berlaku pada kasus ini, tentulah kodifikasi semacam ini juga
termasuk kepada perkara yang dlalalah,padahal secara rasional, hal ini
tentulah tidak tepat.
Kasus lain yang ditemukan pada masa sahabat, shalat tarawih secara
berjama’ah. Pada masa Nabi, shalat tarawih dilakukan secara sendiri-sendiri.
Memang pada awalnya Rasul pernah melakukannya secara berjama’ah, namun karena
dikhawatirkan dianggap wajib, maka Rasul pun meninggalkannya. Akan tetapi pada
masa kekhalifahan ‘Umar ibn Khattab, shalat tarawih dilakukan secara
berjama’ah, dan rakaatnya pun ditentukan menjadi 20 rakat. Hal ini secara
bahasa tentulah dianggap sebagai Bid’ah, karena Rasul tidak melaksanakan
yang demikian. Dan ‘Umar pun mengatakan : “Inilah Bid’ah yang bagus” (Ni’mat
al-Bid’ah Hadzihi).[35] Sehingga
secara bahasa, hal tersebut (shalat tarawih jama’ah) tidaklah terlepas dari
istilah bid’ah, namun secara syar’i hal tersebut tidak dikatakan Bid’ah, karena
bid’ah secara pengertian syara’ ialah tertentu pada perkara baru dalam agama
yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kasus lainnya yang disebutkan
dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi sebagai bid’ah mahmudah yang
dilakukan para shahabat ialah adzan Jum’ah yang kedua, dilakukan oleh ‘Utsman
dengan tujuan penguatan terhadap seruan kepada umat manusia yang kemudian
diteruskan oleh khalifah setelahnya, yakni ‘Ali ibn Abi Thalib.[36]
E. Beberapa Pemabahasan Tentang Bid’ah
Dari sisi Hadits, dirasa cukup keterangan yang ada untuk mensyarahkannya.
Akan tetapi terdapat aspek-aspek lain yang seharusnya diikut-sertakan ketika
membahas tema bid’ah ini. Dalam pembahasannya, penulis berusaha
menghadirkan data dari berbagai literatur yang pada umumnya memang terdapat
dalam kitab-kitab yang membahas tentang tema Bid’ah ini. Diantaranya
pembagian bid’ah dari berbaga tinjauan, hukum bid’ah, yang akan
dipaparkan dalam pembahasan selanjutnya.
1. Pembagian Bid’ah
Sebelumnya telah sedikit diulas mengenai pembagian bid’ah menurut
al-Syafi’i dan Ibn al-Atsir mengenai pembagian bid’ah dari sisi baik
buruknya. Namun ternyata, dalam berbagai karya, pembagian bid’ah tidak
hanya dibagi menjadi dua bagian tersebut, melainkan banyak sekali klasifikasi bid’ah
yang terbagi atas beberapa pembagian. Berikut keterangannya.
a. Pembagian berdasarkan
Haqiqi dan Idlafiy
Pembagian ini berdasarkan
segi Ushul dan furu’ dalam ajaran Islam. Adapun yang dimaksud
dengan bid’ah haqiqiyyah: perkara baru yang tidak didapatkan dalil
disyari’atkannya, baik itu dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan juga tidak
terdapat pada pengambilan hukum yang dilakukan oleh mayoritas Ulama. Dan bid’ah semacam ini tergolong ke dalam bid’ah sayyi’ah seperti
contoh: mengharamkan yang halal, menolak kehujjahan sunnah, membuat ibadah yang
baru (menambah model shalat yang lain), dan lain sebagainya.[37]
Bid’ah Idlafiyyah: yakni perkara baru dalam agama, yang dipandang dari satu sisi adalah
sunnah dan dari sisi lain merupakan bid’ah.
Maksudnya ialah, secara prinsip telah diajarkan oleh Rasul, namun dalam
prakteknya tidak pernah dilakukan oleh Rasul.[38]
Seperti contoh yang telah disebutkan sebelumnya, menuntut Ilmu telah diajarkan
oleh Rasul, akan tetapi mengenai praktek yang berkembang pada masa
sekarang—sekolah, kursus, kuliah, belajar via internet—tidak pernah dilakukan
oleh beliau.
b. Pembagian berdasarkan
Diniyyah dan Dunyawiyyah
Sebelumnya juga sedikit
dibahas mengenai hal ini. Yakni membagi perkara baru ke dalam dua dimensi,
duniawi dan ukhrawi (diniyyah). Dunyawiyyah: perkara baru yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasul yang tidak berhubungan dengan praktek peribadatan
secara langsung (mahdlah), dan hal ini tidaklah mungkin dapat dihindari,
karena hal ini erat kaitannya dengan perkembangan zaman dan kebiasaan
individual masing-masing orang, seperti: naik mobil, makan sosis dan lain
sebagainya.[39]
Diniyyah: yakni perkara baru yang muncul setelah wafatnya nabi yang berorientasikan
kepada tujuan mendekatkan diri kepada Allah, seperti: membuat shalat baru,
menambah raka’at tiap-tiap shalat, dan beberapa permasalahan lain. Pembagian
ini juga berhubungan dengan pembagian Hasanah dan sayyi’ah dan
juga haqiqiyyah dan idlafiyyah.[40]
c. Pembagian berdasarkan
I’tiqadiyyah, Qauliyyah, dan ‘Amaliyyah
I’tiqadiyyah: keyakinan baru yang dibuat setelah wafatnya rasul, seperti berkeyakinan
adanya Nabi baru, Ali sebagai Nabi, Tuhan memiliki anak, dan keyakinan lainnya
yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.[41]
Qauliyyah: ucapan ataupun dzikr yang tidak pernah ada di zaman rasul, mengenai hal
ini, sangatlah banyak sekali perbedaan. Jika berangkat dari hadits yang
mewartakan tentang bacaan shalat yang dibuat oleh sahabat, dan Rasul
membenarkannya, maka perkara ini dianggap tidak bertentangan. Namun jika
memandangnya dari sudut lain, maka hal ini bisa dianggap sesat. Seperti halnya
shalat menggunakan bahasa daerah.[42]
‘Amaliyyah: perkara baru yang diadakan pasca wafatnya Rasul yang sifatnya aplikatif.
Seperti halnya shalat menggunakan cara sendiri (sayyi’ah), menggelengkan
kepala di waktu berdzikir (idlafiyyah, hasanah aw sayyi’ah).[43]
2. Hukum Bid’ah
Tentang bagaimana
memandang hukum bid’ah ini, maka tidaklah lepas dari bagaimana sudut
pandang seseorang mengartikan bid’ah, bagaimana seseorang
mengklasifikasikan bid’ah, dan juga asas yang dibangun dalam
pengaplikasian pemahaman tersebut. Cukup rumit memang pemahaman dan juga
pembagian bid’ah ini, karena antara satu pembagian dengan
pembagian yang lain saling berkaitan dan juga mempertimbangkan konsistensi
pembatasan bid’ah itu sendiri. Akan terjadi kerancuan apabila
dalam satu sisi menggunakan batasan satu, di sisi lain menggunakan batasan yang
lain. Dalam poin ini hanya akan dijelaskan gambaran umum mengenai bagaimana
ulama mengklasifikasikan hukum Bid’ah.
Al-Syaikh
Abu Abd Allah al-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Mantsur fi al-Qawa’id, membagi bid’ah dari sisi hukum melaksanakannya terbagi atas lima bagian,[44]
sesuai dengan hukum yang terdapat dalam permasalahan keagamaan lainnya.
·
Wajib: perkara ini pada dasarnya bukanlah
sesuatu yang wajib, dan tidak didapatkan nash yang mewajibkannya, namun dikarenakan terdapat
perkara wajib lain yang tidak bisa sempurna tanpa melaksanakannya, maka perkara
ini juga memiliki implikasi hukum wajib, berdasarkan kaidah:
مالايتم الواجب الا به فهو واجب
Beliau menghadirkan contoh, mempelajari ilmu nahwu. Karena pemahaman
Islam adalah bersumber dari al-Qur’an Hadits, maka wajib hukumnya untuk
mempelajari disiplin ilmu yang mengantarkan pemahaman mendalaminya.
·
Sunnah
(Mandub): hal ini dianggap mandub berdasarkan kemaslahatan yang terkandung di
dalamnya sekalipun tidak pernah di nash-kan kesunnahannya: seperti halnya
memberikan metode pembelajaran yang baru dalam memudahkan membaca al-Qur’an
(Qira’ati, Dirasaty), dan lain sebagainya.
·
Haram:
keharaman ini pastinya mengarah kepada perkara baru yang bertentangan dengan
prinsip ajaran Aga Islam, seperti halnya mengaku Nabi, mengurangi bilangan
raka’at shalat, dan lain-lain.
·
Makruh:
mempertimbangkan adanya kemadlaratan yang ditimbulkan, dengan catatan tidak
sampai menyalahi Nash-nash al-Qur’an
Hadits, seperti halnya menginjak-injak mushaf di depan publik, karena akan
menimbulkan keresahan sekalipun tidak diharamkan secara Nash.
·
Mubah:
Mubah ini, ialah perkara yang sah-sah saja dilakukan tanpa menimbulkan
kemadlaratan, dan apabila dilakukan tidak terdapat manfa’at yang di dapat.
Seperti halnya membawa mushaf tanpa adanya maksud apa-apa. Hal ini dianggap
mubah, karena pada zaman Rasul tidak didapatkan mushaf yang telah terbukukan.
F. Simpulan dan Penutup
Berbagai uraian dan keterangan di atas adalah sebuah upaya untuk
menafsirkan (Tasyrih) Hadits—yang pada dataran eksplisitnya menafikan
segala bentuk tindakan baru yang sama sekali tidak pernah ada di zaman
Rasul—untuk dikategorikan sebagai perkara yang haram. Tentunya hal ini jika
tetap dimaknai secara literal, maka kesalehan lokal (Local Wisdom) tidak
akan terwujud dikarenakan adanya selang waktu yang cukup jauh, dan juga perberbedaan
peradaban ketika Rasul Hidup. Dan tidaklah mungkin Islam—sebagai agama Rahmatan
li al-‘Alamin—menghendaki adanya un-sinkronisasi antara perilaku umat
dengan fakta empirik yang sedang terjadi. Apabila tetap mengamalkannya
tekstual, terkesan lari dari peradaban dan perkembangan zaman.
Maka solusi yang diambil oleh penulis adalah memaknainya dengan analisis
linguistik yang juga dipadukan dengan redaksi Hadis lain, dan tanpa
meninggalkan kontribusi pemikiran para Ulama klasik dalam men-syarah-kannya.
Dan kesimpulan yang dapat diambil ialah, tidak semua perkara baru termasuk ke
dalam cakupan bid’ah, akan tetapi dikhususkan pada perkara yang
hubungannya dengan hukum syar’i, dan lebih khusus lagi kepada ibadah vertikal (Habl
min Allah). Untuk selanjutnya, lebih spesifik lagi, tidaklah semua perkara
ibadah vertikal itu termasuk bid’ah, akan tetapi hanya perkara yang
bertentangan secara prinsipil dengan al-Qur’an dan Sunnah, yakni bid’ah yang
terlarang ialah al-Bid’ah al-Diniyyah al-Sayyi’ah (alladzi Yukhalif al-Kitab
wa al-Sunnah) al-Haqiqiyyah.
Dalam kajian Ma’an al-Hadits, seharusnya menyajikan analisis
historis serta kontekstualisasi dengan fakta kekinian, namun penulis hanya
mengkajinya pada dataran teoritis. Hal ini dirasa cukup karena memang Hadits
yang diangkat berangakat dari statement Nabi yang kapasitasnya sebagai pembawa
Risalah, bukan sebagai pemimpin dan juga bukan sebagai kepala keluarga,
sehingga tidak berangkat dari studi kasus sebagaimana penelitian Ma’an
al-Hadits pada umumnya. Karena
apabila berangkat dari Hadits Nabi yang mengandung kemungkinan bukan wilayah
kerisalahan, terdapat ruang yang dapat diteliti, yakni kondisi sosio-kultural
bangsa Arab yang mempengaruhi munculnya Hadits tersebut. Namun dalam penelitian
ini tidak didapatkan ruang tersebut, karena—hemat penulis—tidak ada pengaruhnya
antara Asbab al-Wurud dengan pemaknaan Hadits, wilayahnya Risalah
yang bersifat tuntunan dari Wahyu.
Pada akhirnya:
“Tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Wudhu’”.[45]
Begitu juga makalah ini, tak kan terlepas dari banyaknya kekeliruan
dalam menganalisis data, ataupun kesalahpahaman dalam menyampaikan, tidak
lugasnya bahasa yang dipakai, dan masih banyak sekali kekurangan yang jika
diungkapkan satu-persatu akan lebih tebal dari pembahasan makalah itu sendiri.
Semoga sedikit ini, dapat memberikan kontribusi ilmiah, meskipun sejatinya tidak ilmiah.
[1] Al-Nasa’i 1560 dalam CD
ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Global Islamic Software, 1999.
[2] Hadits-hadits ini
dikutip dari CD ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, nama bab, dan juga
nomer Hadits diambilkan langsung darinya, sehingga sangat memungkinkan adanya
perbedaan nomer Hadits dengan yang terdapat dalam kitab asli, ataupun juga pada
software yang lain, seperti al-Maktabah al-syamilah, dan lain-lain.
[3] Shahih Bukhari no. 2499.
[4] Sunan Ibn Majah no. 48
[5] Penggambaran mudahnya
dia keluar dari Islam. Jika dipahami secara literal, maka Hadits ini menyatakan
bahwa orang yang membuat bid’ah telah murtad.
[6] Shahih Muslim no. 1691
[7] Hadis riwayat Muslim no.
943. Hadis serupa juga dikeluarkan oleh al-Nasa’i no. 875 dan 876, Tirmidzi no.
3516, dan Ahmad no. 4399.
[8] Nurun Najwah, Ilmu
Ma’anil Hadis; Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Cahaya Pustaka, 2008), hlm. 13-15.
[9] Nurun Najwah, Ilmu
Ma’anil Hadis; Metode.....hlm. 14-15. Namun dalam bukunya, penulis juga
memberikan sanggahan terhadap pendapat Jumhur Ulama tersebut. Ia
berargument bahwa tidak semua sahabat menjadi saksi primer dalam munculnya
sebuah hadis,kualitas intelektual dan ketaqwaan para sahabat berbeda-beda,
terlibatnya interpretasi sahabat dan juga informasi yang kontradiktif, dan
hal-hal lain yang memang merupakan sanggahan terhadap penadapat Jumhur Ulama
tersebut.
[10] A. Warson Munawwir, Kamus
Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 65
[11] Murtadla al-Zabidy, Taj
al-‘Arus min Jawahir al-Qamus Juz I, dalam (CD ROM Al-Maktabah
al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2003), hlm. 5092
[13] ‘Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah;
Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy,
1980), hlm. 157-158.
[14] Definisi ini menurut Ibn
Taimiyyah, yang dikutip oleh Abd Allah ibn Abd Al-Aziz dalam kitabnya Al-Bida’
al-Hauliyyah Juz I, hlm. 12 CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, ungkapan
senada dikeluarkan oleh al-Syatibi dalam Al-I’tisham : Bid’ah ialah
sesuatu baru yang dimaksudkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah. Sehingga perkara yang hubungannya dengan duniawi menjadi terkecualikan
dalam pembatasan ini.
[15] Definisi ini dikemukakan
oleh Imam al-Syafi’i, al-Qarafi, al-Ghazali, Ibn al-Atsir, yang juga dikutip
dari Al-Bida’ al-Hauliyyah Juz I, hlm. 11 CD ROM al-Maktabah
al-Syamilah. Imam syafi’i membagi Bid’ah menjadi dua bagian, mahmudah dan
madzmumah. Adapun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah ialah Madzmumah,
sehingga konsekwensi yang lebih jauh lagi, keharaman bid’ah hanya tertentu
yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
[16] Hadits dalam
pembahasan-pembahasan selanjutnya tidak disertakan sanad dan juga sumbernya,
karena pada point sebelumnya telah disinggung panjang lebar.
[17] Lihat: Dr. Muhammad Alwi
al-Maliky, Mafahim Yajibu an Tushahhah, (Kairo: Dar Jawami’ al-Kalim,
t.th) hlm. 46-49)
[18] Sunan Ibn Majah no. 2462
Kitab al-Ahkam, bab Talqih al-Nahl.
[19] Lihat: Dr. Muhammad Alwi
al-Maliky, Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 46-49.
[20] QS. Ali Imran (3): 185.
[21] Ibn Hisyam, Mughni
al-Labib an Kutub al-‘A’arib Juz I, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, hlm.
73.
[22] Diriwayatkan dari 'A'isyah dan Abu Hurairah ditakhrij oleh Bukhari,
Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
Al-Zuhri menyebut: "Biji hitam itu ialah ‘jintan hitam’ (alshunīz)."
Ia juga dinamakan ‘jintan India’ dan pelbagai nama-nama lain.
[23] Sheikh Gibril Fouâd
Haddâd, Memahami Bid’ah dalam http://www.livingislam.org/n/mb_e.html..
[24] Totok Jumantoro, Samsul
Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 14,
lihat juga Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar
al-Qalam, 1978), hlm. 185.
[25] QS. Al-Anbiya’(21): 30.
[26] Totok Jumantoro, Samsul
Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hlm. 14, lihat juga Abd al-Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 185.
[27] QS. Ali Imran(3): 97.
[28] Totok Jumantoro, Samsul
Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hlm. 14-15, lihat juga Abd al-Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 186.
[29] Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Asar juz I (Beirut:
Dar Ihya’ al-Turas al-Araby, t.th.), hlm. 106. Beliau juga mendasarkan
pendapatnya dengan hadits man sanna.....
[32] Bukhari no.
6805, diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa'i, Ibn Majah, dan Imam
Ahmad.
[34] Mushtafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi terj.
Sohirin Solihin dkk. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 83-90.
[35] Lihat: Muhammad ‘Abd
Al-Rahman, Tuhfah al-Ahwadzi Juz V CD ROM al-Maktabah al-Syamilah,
hlm. 366.
[38] Zaky Muhammad, Risalah
al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, (Yogyakarta: Percetakan
Krapyak, 2003), hlm. 7. Lihat juga Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah;
Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.274. jikalau berpaham bahwa setiap
bid’ah itu semuanya sesat tanpa adanya pengklasifikasian, maka menuntut ilmu
pun seharusnya hanya terbatas pada halaqah-halaqah dan juga khutbah-khutbah
seperti yang terdapat pada masa Rasul. Karena menuntut ilmu masih berkaitan
dengan permasalahan keagamaan.
[39] Zaky Muhammad, Risalah
al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, hlm. 7 lihat juga Hasby
al-Shidiqiy, Criteria Antara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta: Bulan Bintang,
1967), hlm. 48. Namun dalam buku Hasby tersebut disebutkan dengan Bid’ah
‘Adiyyah.
[40] Zaky Muhammad, Risalah
al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, hlm. 7 lihat juga Hasby
al-Shidiqiy, Criteria Antara Sunnah dan Bid’ah, hlm. 48, dan dalam
redaksi Hashby disebutkan dengan Ibadiyyah.
[41] Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah;
Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.304. bid’ah ini mutlak termasuk ke
dalam bid’ah sayyi’ah.
[44] Abu ‘Abd Allah al-Zarkasyi, Al-Mantsur
fi al-Qawa’id Juz I, (Kuwait:
Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1405 H), hlm.219.
[45] Karena dalam tempat wudlu Masjid tertuliskan
“Sempurnakanlah Wudhu’”.
Diposting oleh Pesantren Tanpa Atap 1
Langganan:
Postingan (Atom)
2 komentar:
Posting Komentar