Konsep Baik dan Buruk, Serta Peran Akal dalam Hukum Islam


Akal adalah pemberian Tuhan kepada manusia untuk membedakan manusia dengan Makhluk lain ciptaan-Nya. Akal juga berpengaruh besar dalam penetapan suatu hukum Islam yang tidak terdapat dalilnya dalam Nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Namun dalam kadar penggunaannya, ulama banyak yang berbeda pendapat, diantaranya mengenai peran akal dalam menentukan baik dan buruk yang hubungannya dengan Wahyu.


Mengenai hal ini, secara garis besar perbedaaan ulama dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian:


Pertama, Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk itu adalah dua sifat esensial yang ada pada sebagian hal, dan sebagian hal lain berada antara manfaat dan madharat serta diantara baik dan buruk. Dalam hal ini salah seorang tokoh mereka, Al-Juba’i, mengatakan : “Setiap perbuatan ma’siat yang jaiz bagi Allah untuk memerintahkannya, maka nilai keburukan perbuatan itu karena adanya larangan (qabih lin-nahyi). Dan setiap perbuatan ma’siat yang wajib bagi Allah untuk tidak memperbolehkannya,maka nilai keburukan itu terletak pada esensinya (qabih linafsihi), seperti halnya tidak mengenal Allah SWT. atau bahkan menyekutukannya. Demikian pula setiap perbuatan yang jaiz bagi Allah untuk memerintahkannya, maka nilai kebaikan perbuatan itu karena adanya perintah (hasan lil-amri bihi). Dan setiap perbuatan yang wajib bagi Allah untuk memerintahkannya, maka nilai kebaikan perbuatan itu karena esensinya (hasan li-nafsih).


Golongan Mu’tazilah juga sering disebut dengn Ahl Ar-Ra’y, karena selalu melandaskan dasar pengambilan hukum dengan nadzhari (rasio). Mu’tazilah juga berpendapat, dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.

Kedua, Pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut pula oleh Ulama Hanafiah mereka ini mengatakan bahwa sesuatu itu secara esensial (menurut dzatnya) ada yang baik dan ada yang buruk. Dan sesungguhnya Allah tidak akan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya. Dengan demikian, mereka ini membagi sesuatu kepada :

1. Hasan li dzatihi (baik menurut dzatnya)
2. Qabih li dzatihi (buruk menurut dzatnya)
3. Sesuatu yang ada diantara keduanya, dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah swt.

Menurut Al-maturidiyah, penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui akal tidak selalu mampu membedakan antara baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.

Ketiga, Pendapat golongan Asy’ariyah, yang dipegangi oleh jumhur ulama Ushul, yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (secara esensial),tidak ada yang baik maupun yang buruk. Semuanya mutlak tergantung dan ditentukan oleh kehendak Allah. Dalam aturan syara’. Tidak ada sesuatupun yang membatasi kehendak-Nya. Dia adalah pencipta sesuatu dan Dia pula yang menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu, segala yang Dia perintahkan itulah yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang buruk. Tiada taklif (pembebanan) karena keputusan akal, tetapi taklif hanya berdasar pada perintah dan larangan Syari’ (Allah).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah, dan akal tidak dapat memberi beban hukum (taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan li dzatihi serta qabih li dzatihi.



1 komentar:

  1. The Ultimate Guide to Casino Games - Online Betting
    If you're going to place bets online, 토토커뮤니티 you want to know that casino games are the only way 군산 출장안마 to 평택 출장마사지 win at online 삼척 출장샵 gambling sites. They'll also 충청북도 출장마사지 have an

    BalasHapus