Secangkir Kopi
Santri, upaya pendefinisiannya tidak pernah berhenti pada satu titik pasti. Terkadang
ia menjadi cermin intelektual Muslim yang syarat akan progressifitas pemikiran,
namun tak jarang santri menjadi sebuah objek gunjingan. Keteguhan dalam
berkomitmen malah membuatnya semakin termarjinalkan di tengah hedonisme kehidupan.
Tak heran jika perkembangan zaman semakin menghilangkan jejak-jejak emas para
tokoh besar di Negeri ini yang lahir dari institusi informal yang kental dengan
nuansa kekumuhan, Pesantren.
Santri.... satu kata yang penuh akan makna...
Karya ilmiah
setingkat desertasi pun tak kan mampu menggambarkan sosoknya secara
sempurna. Ia hidup dengan serba keterbatasan, namun
prestasi yang ia torehkan tidak bisa dikesampingkan. Ia bak cahaya intan yang
disinarkan dari sesampahan.
Namun kini,
cahaya itu tak lagi seperti sediakala di saat ia dipuja dan dikultuskan sebagai
manusia multi-talenta. Perlahan namun pasti, cahaya itu mulai pudar. Entah apa
yang membuatnya makin ragu akan kapabilitasnya sebagai khalifah Tuhan yang
membawa sejuta pesan keilahian.
Ia tersingkir, terusir,
terbuang jauh dari realitas sosial kehidupan yang kian lama makin menunjukkan
kehancurannya. Ku yakin bukan itu yang diharapkan para sesepuhnya. Santri tidak
boleh lari dari keadaan, kau harus hidup di dalamnya dan berusaha memperbaikinya.
Dari goresan tinta ini, ku berharap suatu saat nanti cahaya yang hilang akan
kembali bersinar, dan kembali menunjukkan kapada dunia bahwa santri adalah
manusia pilihan.
Semoga "Pesantren Tanpa Atap" ini bisa memberikan kontribusi, sumbangsih, dan inspirasi, dari kami, Santri, untuk Ibu Pertiwi.
0 komentar:
Posting Komentar