Catatan Kecil Seputar "Mitsaqan Ghalidhan"




Sangat tepat al-Qur'an membahasakan pernikahan dengan perjanjian yang agung (secara harfiyyah ghalidh bermakna tebal/kasar/keras/kejam).

Perjanjian tersebut tidaklah hanya sebatas "saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan mas kawin sekian dibayar tunai" semata, melainkan jika diperinci lebih lanjut akan berbunyi: "Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan konsekuensi akan mencukupi biaya hidupnya, menafkahi batinnya, dan saya bertanggung jawab penuh untuk mengajaknya beribadah, menjaga sholat-puasa-zakatnya, berhaji bersamanya (bila mampu), serta memberikan tauladan baik kepadanya, dan kelak jika dikaruniai anak, saya akan merawatnya, mencukupi kebutuhan hidupnya, memberikan pendidikan yang layak baginya, serta bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi dalam rumah tangga yang akan saya bangun bersama anak bapak,di dunia dan akhiratnya. Dengan maskawin sekian dibayar tunai". Dari sini bisa dilihat, betapa pernikahan merupakan perjanjian yang tidak bisa disepelekan.



Setiap imam keluarga (suami) akan menemui tingkat kesulitan yang berbeda-beda dalam mewujudkan janjinya. Upaya penyatuan dua manusia itu memang bukan perkara yang bisa dibilang mudah, seadem-ayem apa pun sebuah rumah tangga, perbedaan itu pasti ada dan niscaya. Karena berbeda, potensi untuk memperbesar perbedaan menjadi sebuah permasalahan itu juga sangat dimungkinkan.



Secara naluriahnya, setiap manusia dibekali ego, sehingga lebih mudah menjustifikasi saya yang benar dan kamu yang salah. Sehingga wajar, terkadang masalah dalam keluarga yang sebenarnya sepele jika dipikir sambil ngopi, bisa jadi besar ketika adu mulut dengan istri.


Ketika sudah berlanjut pada konflik berkepanjangan seperti perang timur tengah yang tak kunjung meredam, maka dibutuhkanlah salah satu pihak untuk mengangkat bendera putihnya dan menandatangani surat perjanjian damai. Pada tahapan ini, tidaklah penting mempermasalahkan siapa yang benar, tapi lebih karena keutuhan keluarga menjadi hal yang harus diprioritaskan.


Kembali ke mitsaqan ghalidhan tadi, bahwa perjanjian ini tidak hanya sekedar perjanjian sumpah jabatan yang bisa dan biasa dilanggar, tapi pertanggung jawabannya langsung kepada Tuhan Yang Maha Mengaudit segala hal. Maka proses "Lita'arafu" (saling mengenal satu sama lain) harus terus menerus berlangsung. Tidak hanya mengenal Nama, TTL, Hobi, dan cita-citanya saja, tetapi juga yang tak kalah penting ialah memahami satu sama lain karakternya, sifatnya, dan apa yang diinginkannya.


Bagi sebagian suami, memahami istrinya bukan perkara mudah. Dengan segala keunikan dan daya ngambeknya, wanita selalu memunculkan hal-hal yang tak terduga. Apa yang diinginkannya bisa jadi kebalikan 180° dari apa yang ditampakkan dan dikatakan. Mengatasi hal ini tentu tidaklah cukup berbekal ilmu ushul fiqh atau pun wawasan filsafat dari Plato hingga Karl Marx saja, melainkan dibutuhkan eksperimen-eksperimen pribadi untuk "mengenal" lebih dalam karakter sang istri. Ada Band membahasakannya dengan; "Karena Wanita Ingin Dimengerti".


Sesimpel itukah?

Indonesia sebagai sebuah negara, ada banyak sekali intervensi asing yang bisa mengacaukan dan atau memakmurkan sistem dalam negeri, baik dari Amerika, Rusia, Cina, maupun Malaysia. Begitu juga dengan keluarga, selain pihak suami dan istri, ada pihak-pihak lain yang turut andil membangun dan atau meruwetkan. Karena pernikahan berangkat dari dua keluarga, tak jarang muncul intervensi dari dua keluarga tersebut, bisa dalam makna positif dan terkadang juga negatif. Baik itu dari pihak mertua, ipar, tetangga, teman, hingga eks-tapol PKI.


Untuk menyikapi hal ini, menarik apa yang pernah disampaikan oleh Kyai Abdullah Dampit, Malang:

"Nikah itu seperti sampean naik mobil, sampean supire. Tujuane sampean mengantarkan penumpang yang ada di mobil tsb selamat sampai tujuan. Sampean di jalan akan bertemu banyak orang, jika ada orang yang berteriak-teriak kepada sampean nyuruh berhenti jangan mau. Fokuslah pada penumpang sampean, karena merekalah tanggung jawab sampean, yang harus sampean antarkan ke tujuan "selamat dunia akhirkat" (riwayat bil ma'na).


Selain masalah intervensi asing tadi, problematika bangsa yang selanjutnya adalah rupiah yang terus menerus melemah. Dengan melemahnya rupiah, sedikit banyak berdampak pada perekonomian keluarga. Untuk masalah ini, lebih baik konsultasikan kepada pakarnya.


Ini catatan bukan dibuat oleh orang yang telah berpengalaman berpuluh-puluh tahun mengarungi bahtera pernikahan, hanya saja kita semua pastilah bercita-cita menepati mitsaqan ghalidhan.



Semoga Bermanfaat.

1 komentar:

  1. KH Abdulloh, Pengasuh PPAI Al Aziz,
    semoga Alloh meridhoi beliau...
    🙏

    BalasHapus