Pendidikan Pesantren; Mutiara Terpendam*


Indonesia tidak henti-hentinya didera krisis berkepanjangan, terus merangkaknya kenaikan harga bahan bakar, yang selalu diiringi dengan melunjaknya harga pangan, menjadikan rakyat menjerit kelaparan. Belum lagi kemiskinan yang tak kunjung terselesaikan, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang maksimal, menjadikan kaum lemah semakin termarjinalkan. Semua problematika itu tidak rehat menyerang silih-berganti, bertubi-tubi. Ironisnya, krisis itu tidak hanya terjadi dalam sektor ekonomi dan kesehatan belaka, tapi juga merambah pada wilayah pendidikan, yaitu titik paling fundamental dalam pembangunan suatu bangsa dan negara.
Dikatakan kegagalan suatu sistem pendidikan, setidaknya bisa kita lihat dari dua sisi, makro dan mikro. Dari makronya, bisa kita rasakan bersama, saat sistem pendidikan formal yang bernama “sekolah” itu telah berhasil melahirkan pemikir-pemikir hebat, tokoh-tokoh yang cerdas, namun ketika dihadapkan dalam realita sosial—terkhusus bagi mereka yang masuk lingkaran birokrasi pemerintahan—sebagian dari pemikir-pemikir cerdas itu kehilangan nuraninya, dan banyak dari mereka yang menjelma menjadi koruptor pesakitan yang gila kekayaan, dan hidupnya berujung di jeruji besi tahanan. Sedangkan dalam ruang lingkup mikro, dapat kita lihat dari kenalakan remaja yang seringkali memenuhi informasi harian kita, baik itu tawuran antar pelajar, penyalah-gunaan narkotika, hingga kasus-kasus pelecehan seksual yang berupa pemerkosaan, seks bebas, sampai pada kasus terakhir, yaitu pembuatan video mesum pelajar yang sama sekali tidak pantas dilihat dan dibuat oleh masyarakat Indonesia. Parahnya, ini terjadi tidak hanya di kalangan mahasiswa ataupun pelajar SMA saja, tapi siswa SMP pun sudah banyak yang mempraktikkannya. Tentu ini pukulan telak, karena bagaimana pun, pendidikan adalah gerbang kemajuan suatu negara. Jika sekarang, generasi terpelajarnya saja sudah sedemikian bejatnya, bagaimana nasib bangsa ini, sepuluh hingga lima puluh tahun ke depan?
Tentu menjadi tanggung jawab kita bersama, untuk mencari formulasi pendidikan yang tepat, guna membentengi moral anak bangsa. Terbukti, pendidikan yang hanya mengedepankan kemampuan kognitif belaka, menemui banyak benturan ketika dihadapkan pada urusan moral. Dalam tulisan ini, penulis berusaha menawarkan kembali sebuah konsep pendidikan yang telah lama digagas oleh pejuang dan pendiri bangsa ini, yakni Pesantren.
Secara historis, Pesantren merupakan produk asli (indigenous) Nusantara, embrionya muncul sejak zaman Walisanga dalam menyebar-luaskan agama Islam. Dalam perkembangannya, pesantren mengalami dinamika-dinamika kelembagaan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki satu ciri khas tersendiri, yakni meniscayakan seorang penuntut ilmu (santri) tinggal 24 jam bersama gurunya (kiai). Dari situlah kemudian seorang kiai dapat mentransferkan segala macam keilmuan yang dimiliki kepada santri-santrinya. Transfer keilmuan tersebut tidak hanya pada tataran teori belaka, tapi juga uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) dari seorang kiai dalam kesehariannya. Sehingga dari suri tauladan itu, santri secara langsung dapat melihat keseharian kiai, dimulai dari shalat jama’ahnya, dzikirnya, mujahadahnya, cara bersikapnya, hingga pada cara bertutur kata. Kemudian dari modal pengetahuan langsung semacam itu, dapat meresap ke dalam hati santri, untuk kemudian diamalkan sesuai dengan apa yang dipelajarinya. Teori keagamaan yang ditanamkan, tidak hanya mentah dan ngambang, tapi sekaligus terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dengan adanya pengawasan yang berkelanjutan dari kiai, dan teguran terhadap tindakan santri yang mulai melenceng dari tuntunan syar’i. Intensitas interaksi dan komunikasi dengan guru inilah yang menimalisir kenalakan remaja seusianya, belum pernah ada sejarahnya tawuran pelajar antar pesantren, ataupun pesantren dijadikan tempat distribusi narkoba, terlebih pembuatan video tidak pantas di lingkungan pesantren.
Selain pengawasan total, dalam dunia pendidikan pesantren juga ditanamkan nilai-nilai kemandirian, dimana seorang santri hidup terpisah dengan orang tuanya sejak dini. Kemudian dari kondisi semacam ini, santri dituntut untuk bisa menyelesaikan segala macam problem kehidupan yang dialami, baik itu konflik ketidak-selarasan-paham dengan sesama santri, ataupun juga problem personal, seperti masalah kesehatan, hingga ketersediaan bekal selama hidup di pesantren. Dari kemandirian ini, kemudian muncul kesadaran akan tanggung jawab, baik tanggung jawabnya sebagai individu, juga tanggung jawabnya sebagai masyarakat sosial. Sehingga bekal inilah yang diharapkan mampu mempersiapkan santri menjadi generasi yang tidak manja, tidak hanya mudah mengeluh dan menengadah, melainkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa bekal ilmu keagamaan saja tidaklah cukup, tantangan kemajuan pendidikan yang mengedepankan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) semakin kompetitif. Lembaga pendidikan yang tidak bisa menyesuaikan, pasti akan tertinggal. Maka secara bertahap, pembangunan pesantren di Indonesia kini juga diimbangi dengan hadirnya sekolah-sekolah formal, baik setingkat SD, SMP, SMA, bahkan Perguruan Tinggi. Munculnya elemen pendidikan formal ini memperkaya khazanah pesantren, dan secara berangsur-angsur berusaha mewujudkan cita-cita bersama yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Pencerdasan intelektual di satu sisi, pencerdasan mental dan moral di sisi yang lain secara bersamaan. Pendek katanya, Pesantren berusaha menggabungkan antara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) serta IMTAQ (ke-Iman-an dan ke-Taqwa-an). IPTEK dan IMTAQ inilah yang akan mengawal kehidupan alumni pesantren kedepannya, menjadikan mereka jujur dalam berkata, cerdas dalam bersikap, santun dalam berbuat, serta tulus dalam beramal. Sehingga nanti ketika ia sudah terjun di realita sosial yang lebih nyata, ia tidak akan korup ketika menjadi pejabat, tidak akan menipu ketika berdagang, gigih dalam berusaha dan bekerja, serta dermawan ketika hartanya berkecukupan.
Muara akhir dari pendidikan pesantren di atas adalah untuk kejayaan Islam, dan kemajuan Indonesia sebagai suatu Negara. Kesadaran bernegara juga ditanamkan erat di pesantren, yang dilandasi oleh Hadis Rasul: “Cinta tanah air adalah bagian dari Iman”. Sehingga dalam diri santri terdapat dua kepribadian yang melekat, kepribadian sebagai Muslim sejati, dan kepribadian sebagai WNI.
Jika kita sedikit menilik ke belakang, peran pesantren dalam perjuangan kemerdekaan dan mengisi pembangunan tidak bisa kita sampingkan. Resolusi Jihad, yaitu fatwa tentang wajibnya membela Negara Indonesia bagi setiap muslim, dari KH. Hasyim Asy’arie, mampu menghipnotis ribuan santri dan pemuda lain di Surabaya untuk mengusir penjajah, berujung pada pertumpahan darah, dan diperingati setiap tahunnya pada 10 November sebagai hari pahlawan. Juga dibentuknya barisan militer dari kalangan santri, Hizbullah, yang mengambil peran dalam penjagaan keamanan Negara sebelum dibentuknya BKR (Badan Keamanan Rakyat). Prestasi yang diraih santri pun tidak kalah mencengangkan, bukti konkretnya, satu dari lima presiden di Negeri ini terlahir dari institusi Pesantren, KH. Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur. Disamping masih banyak tokoh-tokoh nasional lainnya seperti Ahmad Dahlan, Wahab Chasbullah, Wahid Hasyim, Quraisy Syihab, Mahfud MD, yang juga semuanya berasal dari lembaga pendidikan Islam ala Nusantara, Pesantren.
Inilah sedikit kisah tentang mutiara yang terpendam, pesantren. Bercahaya, tapi banyak dari kita memandangnya sebelah mata, bahkan terkadang juga melupakan semua peran yang pernah ditorehkannya. Di tengah-tengah kerusakan moral siswa dan pelajar, serta bejatnya nurani kaum cendekiawan yang terpelajar, pesantren hadir sebagai pelepas dahaga pendidikan. Pendidikan yang mengutamakan kesantunan, kecerdasan pikir yang didasari olah dzikir, serta penyeimbangan antara intelektual dan kematangan emosional. Semoga tulisan ini menambah referensi tempat pendidikan yang ideal untuk generasi anda berikutnya, anak-cucu anda, calon pemimpin bangsa. Amin.

                                                                                                            Bintuhan, 06 – 11 - 2013

*Artikel ini dimuat di Radar Kaur edisi 09 November 2013.

0 komentar:

Posting Komentar